18. Mengalihkan Fokus

1.2K 308 2
                                    

NOTE: Episode 17 dengan judul “Pilihan Leo” sudah terbit di KaryaKarsa. :”)

Aku tidak tahu bahwa patah hati bisa begitu menyakitkan. Pantas saja dulu Siluman Babi berkata, “Cinta deritanya tiada akhir.” Sialan. Sekarang aku paham. Rasanya tidak seperti apa pun. Benar-benar sakit sekaligus menyedihkan. Selama beberapa hari minatku terhadap kesenangan hedonistic pun lenyap. Bahkan selama di sekolah pun aku tidak tertarik meladeni Axel yang berdedikasi membuat hariku tambah buruk.

“Cowok bukan hanya dia seorang, Lindgren Muda.” Axel ngotot mengajakku mendinginkan kepala dengan cara menyogokku dengan sekotak pie cokelat, sekotak jus apel dingin, dan setoples permen aneka warna bertabur gula bak berlian. Semua itu ada di meja. Semua itu tampak mahal! “Kamu nggak usah memikirkan Falmour. Ada aku. Aku!”

Putra tokoh utama benar-benar tidak punya harga diri.

“Axel, apa kamu naksir aku?”

“A-apa? Kamu ngomong apa? A-aku sudah bilang nggak mungkin naksir Lindgren.”

Dia bicara seperti itu, tetapi wajah dan telinganya merah seperti udang rebus.

“Apa kamu nggak sadar hubungan kita ibarat Romeo dan Juliet?” Aku berusaha mengabaikan dorongan untuk menangis jelek karena teringat Leo, lagi. “Nggak mungkin terjalin. Lagi pula, andai bisa pasti kubalas perasaanmu. Sayangnya aku hanya ingin bersama Leo.”

“Romeo Juliet apa? Hei, kenapa kamu nggak mau mengikuti saranku sih? Falmour itu lebih berbahaya dan beracun daripada siapa pun, termasuk ayahmu. Kamu seharusnya belajar menjauh dari Falmour selama ada kesempatan. Hei, ada cowok baik kenapa kamu memilih cowok berengsek?”

“Oh ya,” sahutku sembari menahan luapan air mata yang mungkin terkumpul di pelupuk mata, “aku suka Leo. Cowok berengsek itulah yang berhasil mencuri hatiku.”

“Eh-eh, jangan nangis.” Axel membuka toples dan mengeluarkan sebutir permen berwarna hijau. “Makan. Oke? Sebutir permen nggak akan membunuhmu.”

“Gula berlebih akan memicu kencing manis dan penyakit susulan,” ucapku seraya meraih permen dan mengisapnya. Rasa melon bercampur gula-gula meleleh di lidah. Perlahan rasa sakitku mulai teralih, sedikit. “Aku tetap nggak mau sama kamu.”

Sebut saja aku bodoh, terserah.

Sekalipun ingin mengabaikan Leo, tapi hati dan otakku secara teratur menyuruhku agar tetap setia kepada Leo. Perhatian Axel memang manis, tapi dinding pembatas antara kami terlampu tebal dan tinggi. Sejarah lama di antara Lindgren dan Greene mengisahkan percintaan menyedihkan. Aku tidak mau mengikuti jejak Romeo dan Juliet apalagi Ophelia dan Hamlet. Oh jangan mereka! Aku tidak mau!

“Kamu terlalu dibutakan oleh Leo.” Axel tidak membahas perkara ucapanku mengenai penolakan. “Apa orangtuamu tidak memberikan penjelasan apa pun terkait Leo? Hei, Melody Lindgren. Mengapa kamu begitu keras kepala?”

Stefan sama sekali tidak memberiku penjelasan apa pun selain bahwa Leo harus pergi. Dia bahkan menolak memberiku alamat Leo. Rasa-rasanya semua orang ingin menjadi penghalang bagiku.

Cinta. Naksir. Cinta monyet.

Hati ini....

Sakit.

***

Lantaran tidak sanggup menahan berat sakit hati, aku pun memutuskan menyibukkan diri dengan cara belajar dan mengikuti lomba apa pun yang menarik minat. Stefan tidak melarangku. Dia seratus persen memberi dukungan dalam bentuk apa pun. Apa pun kecuali memberiku penjelasan mengenai Leo.

Pada akhirnya aku harus belajar menerima kenyataan dengan lapang dada. Lagi pula, semua orang pasti pernah berada pada posisiku; sakit hati, merasa dicampakkan, dan remuk. Bila aku tidak bisa melenyapkan perasaan cintaku kepada Leo, maka sebaiknya kualihkan perhatianku kepada kesibukan.

FANTASTIC LOVE! (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang