bagian 11

410 38 34
                                    

Taburkan votenya, ya sayang-sayangku 💗

Sebelumnya aku mau mengingatkan kalian untuk baca ulang cerita ini, karena ada beberapa part yang aku tambahin dan sudah aku revisi. Ada nama juga yang aku ubah, bermaksud buat kalian lebih nyaman dan merasa tidak kebingungan. Dan aku juga mau minta maaf selesaiin cerita ini lama banget. Enjoy guys, semoga suka💗

*****

Dewi tidak berhenti menangis setelah suaminya memberitahu kebenaran yang sangat tidak ia harapkan. Putri kecil mereka sudah meninggal. Membuat semua ikut menangis, trutama Adam, yang sangat merasa bersalah karena kelalaiannya sendiri.

Adam terus meminta maaf sambil berlutut di kaki Dewi. Tetapi Dewi tidak merespon, ia terus menangis dan sesekali menyebut nama Echa dalam isakan tangisnya.

"Bukde maaf, maafin aku, hikss" ucap Adam di sertai tangisan.

"Sudah hentikan, Dam. Ayok bangun!" pintar Bima yang hanya di abaikan Adam.

"Chaa, hikss, hikss Echa jangan pergi!" jerit Dewi histeris.

******

"Dari mana aja sih kamu!" geram Stevano ketika Dara dan Echa sudah datang.

"Aku 'kan sudah bilang, kita habis dari festival outdoor. Aku ajak Echa makan diluar dan ngajak dia buat main disana" Dara mengucap ulang perihal pertanyaan ulang Stevano yang membuatnya sedikit kesal.

Stevano menghembuskan nafas kasar. "Tapi kenapa kamu gak ngabarin aku? Kenapa coba? Kamu bisa bil"

"Apa semua kegiatan yang aku lakuin harus banget aku bilang sama kamu?" potong Dara membuat Stevano kesal. Ia merasa Dara egois.

"Harus. Karena kamu calon istri aku. Saat kita menikah nanti, aku yang akan ngatur kamu. Segala urusan kamu, dan apapun yang mau kamu lakuin harus seizin aku!" Stevano benar-benar lebih egois dari yang Dara bayangkan. Saat berpacaran dengannya, Stevano memang tidak mau mengalah. Harus dia yang menang. Dara sendiri kadang lelah dengan semua sifat calon suaminya itu. Namun, tidak tau mengapa ia begitu mencintai Stevano dan menuruti apa yang pria itu mau.

Echa terlihat takut dengan Stevano, sehingga ia buru-buru memeluk Dara dari belakang. Anak itu tidak mau melihat keberadaan Stevano. "Okey, aku minta maaf. Aku cuma mau ngajak Echa jalan-jalan, sayang. Aku senang lihat dia sebahagia itu, aku benar-benar senang banget. Tolong, saat kamu bicara sama aku jangan sekasar itu. Dia masih kecil"

"Aku sudah bilang sama kamu kemarin. Titipin anak ini kepanti! Kamu bebal banget aku kasih tau. Dia cuma mau merepotkan kamu. Jangan gampang nerima orang baru, aku yakin dia mau nyakitin kamu" ucap Stevano, "dan kamu anak kecil. Anak jalanan kayak kamu ini gak pantas diurus sama Dara. Saya tau kamu pasti bakal manfaatin Dara!" Stevano mengakhiri ucapannya dengan lantang sambil menunjuk dan memarahi Echa. Echa langsung menangis, karena perkataan pria itu sangat kasar padanya.

Sangat terkejut. Dara benar-benar tidak menyangka jika Stevano akan sejahat itu, apa salah Echa hingga Stevano tidak suka padanya. Dara buru-buru menggendong Echa dan menenangkan anak itu, ia menatap Stevano kecewa.

"Kamu sejahat itu, Van!"

Dara langsung meninggalkan Stevano sambil menggendong Echa. Stevano hanya menjerit kesal. Sejujurnya dia hanya ingin menjauhkan Dara dari orang-orang yang jahat. Ia tidak pria yang akan selalu menjaga wanita kesayangannya. Mangkanya dirinya tidak suka jika Dara berhubungan dengan orang baru begitu dekat.

Kini Dara sudah mengajak Echa kedalam kamarnya, kemudian menaruh Echa untuk duduk diatas kasurnya. Dara berlutut dihadapan Echa dan menggenggam kedua tangan mungilnya.

"Maafin om Vano, ya? Dia gak sengaja bilang begitu. Dia cuma lagi kesal sama tante, kamu jangan sedih ya?" ucap Dara lembut, ia juga ikut sedih melihat Echa yang menangis belum berhenti.

"Om itu jahat. Echa gak pernah dimarahin sama mama, sama papa, dan kak Adam. Mereka baik dan sayang Echa. Echa gak suka om jahat. Om yang kayak setan" jawab Echa dengan isakan tangis di setiap perkataannya. Dara mengerti dan terus menenangkan anak itu.

"Echa gak mau dipanti Tante, Echa mau pulang. Echa kangen mama. Echa mau main sama mama" pinta Echa kepada Dara.

"Tante gak akan bawa Echa kepanti kok, janji. Tante juga akan berusaha untuk cari keluarga kamu. Kamu sabar ya? Sementara ini kamu tinggal sama tante, tante akan jagain kamu"

Perlahan Echa berhenti menangis, ia menepis air matanya dengan tangan mungilnya. "Kenapa tante mau sama om jahat? Tante nanti disakitin, Echa gak suka kalau ada orang yang sakitin orang baik" tanya Echa pelan-pelan.

"Om itu gak jahat, dia namanya om Stevano. Tante pacaran sama om Vano sudah lama, hampir dua tahun. Dia memang kayak gitu, tapi tante yakin kalau om Stevano itu baik banget. Karena dia yang sudah bantu tante lupain masa lalu tante" jawab Dara dengan seadanya.

"Masa lalu tante itu siapa?"

****

Bima dan sekeluarga kini sedang berziarah dimakam Echa. Dewi masih menangis papan kayu yang bertuliskan nama anaknya. Ia benar-benar merasa kehilangan. Ini terlalu cepat, ia masih ingin melihat Echa bersekongkol dan tumbuh dewasa. Herman setia disamping Dewi, ia tetap memberikan kekuatan kepada istrinya. Iapun sama masih belum bisa merelakan anaknya. Kemudian Bima yang berdiri sambil memegang kedua pundak ibunya. Sementara Adam, dia mencoba menerima semuanya. Ia menaburi bunga dan air mawar diatas makam Echa sembari berdoa dalam hati. Menyesali apa yang sudah dia lakukan.

"Wi, kita pulang ya? Kamu harus ikhlas. Mas tau ini berat, tapi mas yakin kita bisa jalanin ini bareng-bareng" ucap Herman lembut.

Dewi hanya terdiam dan masih dalam keadaan menangis. Kemudian menatap wajah suaminya, "aku bukan mama yang baik buat Echa, aku gagal jagain dia, Mas!"

"Mbak, ini sudah takdir. Echa pasti sedih lihat mbak begini. Ayok kita pulang, kita kirim doa yang banyak untuk Echa, ya?" sahut Bima membantu ikut mengajak Dewi.

"Diam kamu Bima! Kamu gak tau rasanya ditinggal seorang anak yang paling kita cintai. Kamu gak mengerti itu!" amuk Dewi. Ia marah kepada adik laki-lakinya. Pemikirannya seakan Bima memintanya untuk melupakan Echa.

Adam berdiri dan mendekati Bima, "Bukde kalau mau marah, sama Adam. Jangan sama Baba. Dia gak tau apa-apa, Bukde. Ini salah Adam"

Tidak ada respon apapun dari Dewi. Ia hanya terus mengelus papan nisan anaknya.

"Kalian pulamg duluan aja ya, Bu, Bim, Dam? Biar aku yang bujuk Dewi"  kata Herman.

Mereka semua pun menurutinya dan berpamitan dengan Herman, Dewi dan juga Echa. Kemudian berbalik badan, meninggalkan pemakaman.

*****

Setelah sampai rumah, mereka bertiga duduk di teras rumah. Ibu Yuni langsung menuangkan air putih dari teko kedalam gelas, lalu meminumnya .

"Bima salah ya Bu bilang begitu sama mbak Dewi?"

Ibu Yuni bisa melihat jelas wajah putranya yang terlihat bersalah. "Enggak Bima, kamu benar ajak kakakmu pulang. Tapi mungkin Dewi masih sedih karena kehilangan Echa. Mangkanya dia semarah itu" jelas ibu Yuni seraya mengucap rambut Bima. Bima memang sudah dewasa, tetapi dimata ibu Yuni, Bima masih seperti dulu. Anak yang selalu merasa salah dengan tindakan yang membuat seseorang terlihat marah kepadanya.

"Kamu juga Adam, jangan menyalahkan diri sendiri. Ini namanya kecelakaan. Kamu harus sadar itu" kini ibu Yuni beralih bicara kepada Adam.

Adam mendonggakkan kepalanya. Kemudian tersenyum datar kearah neneknya.

"Tapi Adam belum lihat Echa untuk terakhir kalinya, Nek. Adam penasaran apa penyebab Echa meninggal"

****

Hai semuanya, hari ini aku update cerita Dua garis biru series dua. Ini part lanjutan dari cerita dua tahun lalu. Sudah lama juga ya? Aku bakal rajin update dan berusaha untuk bisa namatin cerita ini, tolong support aku untuk di vote dan di komen cerita aku, dan baca juga cerita aku yang lainnya, Ada MILIKKU (Zaraangga) "belum revisi", SELLATHAN, DAN FLAVIA. Dan bantu follow akun wattpadku juga ya 🤗💗

Dua Garis Biru Series 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang