15. Temu Kangen

104 28 27
                                    

Playing, Dunia tipu-tipu — Yura Yunita

Di rumah, Avel menemukan keadaan mengenaskan dari adiknya, siapa yang sangka saat ia pulang ke rumah malah menemukan keadaan adiknya yang tidak sadarkan diri di lantai? Dengan segera ia menghampiri adiknya itu.

Ditepuk-tepuknya pipi sang adik, berusaha utuk membangunkan sang adik yang tengah tidak sadarkan diri. Namun upaya yang ia lakukan nampaknya sia sia saja, karna adik bongsornya itu belum bangun-bangun juga. 

Sesekali ia menghela napas, mengacak rambutnya frustasi. Jujur, Avel merasa bersalah telah bersikap sekasar itu pada adiknya. Avel tidak menyangka perbuatannya tadi pagi sangat berdampak parah bagi adiknya. 

Ya, katakanlah Avel egois, terlalu mengikuti egonya yang sangat besar.  Tapi jika Avel melawan egonya pun, rasanya sulit, dendam dan egonya begitu menyatu hingga rasanya untuk diruntuhkan pun sesusah itu. Anggap saja Avel buta, tapi nyatanya memang begitu.

Kini Avel merasa takut, ia takut jika rumahnya semakin runtuh, sekali lagi, katakanlah Avel egois, tapi rasa takutnya memang sebesar itu. Sudah cukup Avel kehilangan sang Ayah, ia tidak ingin kehilngan sang adik juga.

"Bangun. Kakak minta maaf sama Iel. Maaf, Kakak terlalu kasar sama Iel."

"Bangun, ya? Kakak bakal perbaiki semuanya, Iel bangun ya? Jangan gini." 

"Bangun ... Kakak takut kamu tinggalin Kakak. Bangun Iel.."

"Iel  ... bangun, ya?"

Avel terus menepuk-nepuk pipi sang adik, berharap sang adik yang berada di pangkuannya segera bangun. 

Anak itu belum sadar-sadar juga, Avel bahkan sampai lelah menunggu adiknya ini sadar. "Ck, kapan lo sadar sih, Iel?"

"Maaf, Kakak minta maaf udah keterlaluan sama Iel tadi. Bangun, ya?"

"Kakak janji, nggak akan jahat sama Iel lagi."

"Bangun ya Iel? Kakak bakalan perbaiki semuanya. Bangun, ya?"

Tak bergeming, tiada satupun jawaban dari sang adik yang belum sadar juga dari alam bawah sadarnya.
"Jangan gini, kamu bikin Kakak takut, Iel. Kakak takut kamu ninggalin Kakak, kayak Ayah ninggalin Kakak." tetes demi tetes keluar dari matanya, ketakutan terbesarnya muncul lagi.

"Oh shit! Kenapa gue peduli gini sama bocah nggak guna ini sih?" katakanlah, Avel baru tersadar. Sadar akan perbuatannya tadi, mengapa ia jadi peduli begitu dengan adiknya?

"Cih, palingan bentar lagi juga bocah ini bangun. Gue bawa ke kamarnya aja deh," katanya sembari menggendong adiknya menuju kamarnya.

Ia rebahkan tubuh bongsor adiknya dengan perlahan, lalu ia menarik selimutnya, menutupi tubuh Azriel dengan selimut. Setelahnya ia keluar, pergi menuju kamarnya yang berada di sebelah kamar Azriel.

Dirabanya foto figura ia bersama Ayahnya di samping nakas. Kembali menangis, kali ini tanpa suara. Mengusapnya dengan pelan, sesekali memeluknya.

"Ayah ... Avel kangen Ayah."

"Semuanya berubah setelah Ayah pergi, Yah."

"Bunda ... depresi berat karna Ayah udah nggak ada di sampingnya,"

"Ayah? Salah nggak sih kalau Avel benci sama Iel?"

"Iel penyebab semuanya. Kalau Iel nggak ngotot ikut perlombaan itu, Ayah pasti nggak akan pergi ninggalin Avel sama Bunda."

"Tapi ... Avel kadang ngerasa kayak terlalu jahat sama Iel. Tindakan yang Avel ambil salah ya, Ayah?"

Semua keluh kesahnya ia curahkan hari itu. Meski tidak ada jawaban sama sekali, tapi setidaknya membuat Avel sedikit lega. Hari esok nanti, ia berjanji untuk mengunjungi makam Ayahnya.

iii. Nefelibata - UN1TYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang