18. Cinta Pertama

144 21 27
                                    

//CW// ; mention death character, mention of blood. ⚠

now playing : sekuat sesakit - idgitaf

***

Hujan menghiasi kota bandung, menimbulkan bau petrikor yang menyeruak. Yang menurut Azriel, bau petrikor sangat membuat hati sejuk.

Azriel tersenyum miris, mengingat perkataan sang sahabat.

"Gue tuh suka kalau hujan, sejuk suasananya. Apalagi kalau misalkan udah kecium bau petrikornya, gue pastiin, hati makin sejuk."

"Bener, bener apa yang Aiden bilang. Bau petrikor emang bikin hati sejuk. Gue jadi kangen dia," ujarnya.

Bohong, bohong kalau misalkan Azriel tidak rindu akan sahabatnya itu. Baik Aiden maupun Zean, sama-sama ia rindukan. Oh jangan lupakan juga, Aidan, Raksa, dan Hesa, pelengkap sehari-harinya mereka.

Di mimpi, tadi bertemu. Tapi rasanya, tidak benar-benar nyata. Hanya saja, berhasil sebagai pengobat rindu.

Tolong, Azriel ingin sekali bertemu dengan mereka.

Adakah pintu doraemon yang bisa membuat Azriel langsung bertemu mereka dengan lengkap seperti dulu?

Saat melamun menatapi jendela, suara-suara teriakan dari sang Ibunda membuat Azriel menghela napas berat, semoga ia tahan untuk tidak menghampiri sang Ibunda ya seperti apa yang dikatakan Kakaknya tadi.

Gila.

Suara pecahan kaca terdengar, Ibundanya benar-benar sedang dalam keadaan kacau.

Mau tak mau, Azriel melangkah keluar, berjalan perlahan mendekati kamar sang Ibunda.

Kamar yang masih tertutup itu Azriel ketuk dengan perlahan. "Bun, Bunda gapapa?"

Hening.

Tak ada sahutan sama sekali.

Yang hanya Azriel dapat hanya suara-suara banting membanting kaca.

"Bun, Iel masuk ya?" ujarnya membuka kenop pintu dengan perlahan. Yang langsung didapati tatapan tajam dari sang Ibunda, dengan tangan yang memegang pecahan kaca, menunjuk tepat di batang hidung Azriel.

Kacau.

Kondisi sang Ibunda kacau. Perempuan pertama yang paling ia cintai dalam hidupnya, sampai di titik masa kelam seperti ini, yang membawa sang Ibunda dalam sepi.

Sepi yang selalu menemani.

Meski, Azriel tahu, sang Kakak-Avel tidak akan pernah meninggalkan sang Ibunda kecuali untuk manggung dan kuliah karna mau bagaimanapun, kini ia berpijak pada rumah yang tidak sempurna.

Mengapa begitu? Sang Ayah telah tiada, kondisi sang Ibunda begitu kacau setelah mengetahui sang Ayah pergi ke pangkuan-Nya. Lantas, sosok Ayah dan seorang Ibu pun sudah tidak ada, bukan?

Baik untuk Azriel sendiri, atau bagi Avel tersendiri.

Dan yang Azriel tahu, sang Kakak menjalani kuliahnya sembari bekerja. Manggung. Meskipun kafenya sudah berada di mana-mana, namun, apa sih yang bisa diharapkan? Kebutuhannya pun banyak, bukan? Membiayai sang Ibunda, dirinya sendiri, begitupun Azriel.

Azriel tersenyum getir, pedih rasanya. Pedih melihat kondisi orang yang kamu cintai, yang paling pertama kamu cintai di dunia ini dalam keadaan seperti ini. "Bunda kenapa? Butuh sesuatu? Kenapa Bunda panggil Iel?" dengan laun ia bertanya.

Sang Ibunda tertawa, "Mau apa kamu anak sialan? Kamu bangga bukan melihat saya menjadi seperti ini?"

Azriel dengan cepat menggeleng, "Nggak, Bun. Iel nggak bangga, Iel nggak seneng. Iel sakit liat Bunda kayak gini, Ayah ud—"

iii. Nefelibata - UN1TYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang