41. Berdamai dengan Hati

6.4K 906 28
                                    

Sakit! Rasanya seluruh tubuhnya tidak berdaya. Mulutnya terasa pahit. Kepalanya berdenyut tidak karuan. Dadanya sesak.

Peluh air mata itu merembas histeris seolah tak ada lagi pembatas yang menghalangnya. Dinginnya suasana malam memeluknya seakan dewa kematian sudah menanti di sudut ruangan.

Kilasan kenyataan yang ia kantongi beberapa menit lalu membuat detak jantungnya berirama lebih cepat. Mungkin jika dirinya di posiai Gea, kenyataan ini seperti hukuman semesta yang wajib ditetapkan oleh si pendosa.

Benar! Di sinilah berdiri si pendosa itu. Akibat keserakahannya. Akibat keegoisannya. Seorang anak yatim piatu harus menderita.

Ginda tersenyum miris. Memegangi dadanya, berusaha menetralkan detak jantung dan pikiran kalutnya setelah menerima vonis hidupnya tidak lama lagi.

Flashback On

Ginda terbangun di jam delapan malam. Mamanya yang biasa menemani di sofa sebelah sana tidak ada.

"Mama kemana?" gumamnya.

Tidak kunjung datang. Ginda memutuskan beranjak dari brangkar. Saat ini keadaannya mulai membaik. Tidak separah tiga hari yang lalu. Walaupun demikian kesehatan Ginda tetap tidak bisa diprediksi. Sehingga membuatnya harus stay di rumah sakit.

Ginda menyisiri koridor. Pikirannya tertuju pada ruang dokter. Pasti Mamanya sedang mendengarkan saran dari dokter lagi.

Situasi ini tidak bisa diubah. Kegagalannya menjalankan operasi donor jantung sampai membuat Papanya masuk penjara karena di duga memalsukan surat persetujuan pendonor sehingga menjebloskannya sebagai kriminal yang menerima pasal pembunuhan berencana dengan hukuman seumur hidup. Semua itu membuat Ginda harus mengantre dari bawah untuk mendapat donor jantung dari rumah sakit.

Reni terlihat di depan sana. Ginda ingin memanggilnya sebelum aksi Reni menghentikan niat Ginda.

"Ku mohon Dok. Selamatkan anak saya," ucap Reni memelas. Duduk memohon di kaki dokter itu.

"Maaf Bu.... saya nggak bisa, bangunlah, banyak orang salah paham nanti."

"Dok.... di umur tiga puluhan saya baru bisa punya anak. Saya menerima banyak hujatan dalam keluarga. Saya tidak pernah menyerah dan yakin saya bisa hamil. Dan di umur tiga puluh tiga, untuk pertama kalinya saya bisa memeluk anak saya. Saya bisa merasakan hangat tubuhnya. Wangi aromanya. Sampai sekarang saya tidak pernah melupakan rasa syukur hari itu. Hari di mana Ginda lahir."

"Tapi belum genap setahun. Jantung Ginda dinyatakan lemah. Hati ibu mana yang tidak hancur? Setelah penantian panjang, lagi-lagi saya harus kehilangannya. Semuanya saya korbankan untuk menyelamatkan Ginda. Apapun akan saya lakukan Dok. Tolong.... setidaknya saya ingin memberi kesempatan anak itu untuk mewujudkan cita-citanya. Ini adalah permohonan seorang Ibu. Bukan seorang istri dari keluarga Rikaz. Ku mohon...."

"B-baiklah, saya coba bicarakan dengan pihak rumah sakit. Tapi saya tidak bisa menjamin kepastian."

"Tidak apa-apa Dok. Terimakasih.... terimakasih banyak Dok."

Flashback Off.

Air mata Ginda masih merembas pilu. Pernyataan Mamanya benar-benar menguras cairan bening itu sampai tak bersisa sedikit pun.

"Hiks.... Mama...."

"Maaf.... gara-gara aku semuanya jadi kayak gini," isaknya pilu di atas brangkar sambil memeluk lututnya.

"Nggak!"

"Semua ini nggak mungkin terjadi kalau bukan karena Kak Gea!" cetusnya.

"Liat aja! Aku nggak akan biarin kalian bahagia!" semiriknya mengembang sempurna. Menatap lurus sebuah nomor yang berhasil ia dapat dari orang kepercayaannya.

NOT REAL (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang