###
Marshall London tidak yakin apa ia harus bersyukur atau merutuki nasibnya memiliki teman seperti Rio de Janeiro dan Leandra Alexa.
London cukup menyesal memberi tahu dua orang itu waktu dan tanggal keberangkatannya ke Inggris. Karenanya ia diperlakukan seperti anak kecil yang belum pernah bepergian sendiri.
Rio mengecek tas juga kopernya, sementara LA memastikan perut London terisi penuh sebelum keberangkatannya nanti sore menuju malam.
Lebih menjengkelkannya lagi, kedua temannya itu berjalan lambat sambil tertawa-tawa entah untuk apa setibanya mereka di bandara. Dengan judul mau mengantar, akhirnya London justru berjalan lebih dahulu di depan Rio dan LA, sementara temannya itu sibuk mengobrol berdua seolah-olah mengantar London bukan tujuan mereka.
Oh, ada lagi yang menjengkelkan. Selama menunggu di bandara, Rio dan LA bersikeras meminta London untuk duduk menunggu dan membiarkan kedua orang temannya itu untuk mengambil dan membeli apapun yang ia mau.
Tahu begini London lebih baik berangkat diam-diam tanpa siapapun yang tahu.
Atau bahkan lebih baik kalau Vicky sepupunya yang mengantar? Atau Abbercio? Abbercio jelas akan membawa Kimi juga, dan ia yakin hal terakhir yang akan mengganggunya adalah melihat Abbercio dan Kimi berciuman di bandara, bukan diperlakukan seperti bocah layaknya Rio dan LA memperlakukannya.
London bahkan sampai menghembuskan napas lega ketika ia bisa check-in dan meninggalkan teman-temannya itu. Waktu menunggu keberangkatan jadi lebih tenang setelah ia masuk ke ruang tunggu. Bagi London, lebih nyaman untuk sendirian.
"Excuse me," ucap London pada perempuan yang duduk cukup menghalangi jalannya.
London tidak pernah peduli soal harus duduk di dekat jendela atau di bagian luar. Baginya sama saja. Tapi ia lupa kali ini ia nekad memilih tiket ekonomi yang cukup mencemooh kaki panjangnya.
Perempuan yang sebentar lagi akan duduk di sebelahnya itu langsung mendongak setelah London berucap. "Oh, yes," ucapnya canggung. Ia terdiam beberapa detik sebelum akhirnya memberi jalan dan membiarkan tubuh London membuat sekitar mereka terasa sempit.
Kata Rio, London itu pick me boy. Ia tidak suka terlihat peduli pada orang lain. Tidak suka hal yang disukai orang lain. Tapi tanpa sadar London sedikit menoleh dan memperhatikan perempuan di sebelahnya yang menerima telepon dan mengobrol menggunakan bahasa Korea.
Oh, London untungnya bukan manusia menyebalkan yang tidak bisa membedakan mana bahasa Korea, Jepang, dan China.
Laki-laki itu seolah menulis catatan dalam hati kalau ia duduk bersama orang asing. Ya memang orang asing sih, tapi maksudnya adalah orang luar negeri.
Dalam hati London juga ingin berteriak kalau ia orang luar negeri. My mom is an English. Ucap London dalam hati setiap orang-orang hanya mengingatnya sebagai anak Hendrick Tanoto si brengsek.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Left My Soul in London
Фанфик(Series #19 Tanoto) When Seoul Kang flew to London to fix her broken heart just to meet someone as gloomy as the city, Marshall London.