9

301 47 6
                                    

Diluar dugaan, jemari lentik itu malah menarik lengannya hingga tubuh kekarnya jatuh ke atas tubuh ramping itu dengan mulusnya.

Terdengar kekehan geli, lehernya dipeluk erat kedua lengan ramping itu.

"Om, takut atau gimana? Sana istri Om kalo lupa," ucap sana lembut.

Pertama kalinya dahyun mendengar ucapan lembut keluar dari mulut itu, setelah beberapa hari mereka tinggal berdua.

"Jangan terlalu kaku om jadi orang, santai kita gak ngapa-ngapain juga," goda sana.

Terdengar helaan napas panjang, tubuh kekar itu perlahan melunak melepas sepatunya menggunakan kedua kakinya dan memperbaiki posisinya tepat di atas tubuh ramping itu.

Siempunya memberi persetujuan, jadi tidak salah dahyun melakukan hal lebih dari ini. Mencari posisi yang nyaman di ceruk leher putih itu, menghirup dalam-dalam aroma khas gadisnya yang terasa memabukkan.

Entah apa yang gadis ini lakukan, sekejap dahyun terhipnotis. Kedua maniknya terpejam, menikmati sentuhan lembut jemari lentik itu diatas rambutnya.

"San,"

"Kenapa, om?"

"Kamu makan apaan bisa senyaman ini?"

"Jengkol om,"

"Berapa kilo?"

"100 kilo,"

"Ngawur."

Sana tertawa kecil, memeluk erat leher suaminya tanpa memperdulikan posisi mereka saat ini. Lagian mereka berdua suami istri, tidak ada salahnya menurut sana.

"Bolos pergi kemana?" tanya dahyun, seraya mendongakkan kepalanya keatas. Hingga jemari lentik itu mengelus lembut rahangnya.

"Ke rumah mina," jawab sana jujur.

"mina?"

"Sahabat sana om,"

"Oh, yang satunya lagi siapa?"

Seingat dahyun mereka ada tiga, dua sahabat istrinya.

"chaeyoung,"

"Pacar kamu?" tanya dahyun ketus.

Entah mengapa dahyun tidak suka dengan nama itu, karena pemilik nama itu pasti pria bukan wanita.

"Masih gebetan om," balas sana tanpa beban, sembari menahan tawa melihat wajah tampan itu kesal.

"Ck, bocil."

"Yah, sana bukan bocil yah om."

"Terserah,"

Dahyun menghela napas panjang, kembali ke posisi semula menyembunyikan wajahnya diceruk leher istrinya.

Sekejap hening, sana memilih diam sembari mengelus lembut rambut suaminya, siempunya memejamkan mata menikmati sentuhan lembut itu.

Hingga terdengar deringan ponsel mengalihkan perhatian sana, meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas dengan nama chaeyoung tertera di sana. Tumben-tumbenan pria yang satu ini berani menelponnya.

Biasanya mengirim pesan, karena menurut chaeyoung suara sana suatu malapetaka yang harus dihindari.

"Halo, tumben. Gak takut malapetaka?"

Terdengar tawa dari sebrang, dengan teriakan mina kesal mendengar tawa chaeyoung

"Apaan sih chaeng? gak jelas Lo,"

"Jangan marah-marah dulu, gue mau ngomong sesuatu,"

"Buruan!"

"jihyo masuk rumah sakit,"

Minatozaki Sana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang