Tiara

23 9 2
                                    

Sang fajar mulai menyingsing di ufuk barat. Matahari akan mulai menerangi bumi hari ini. Aroma pagi yang menyenangkan menembus sejuk pada rongga paru-parunya. Kara seakaan menghirup habis oksigen pagi ini.

"Segar." ungkapnya setelah selesai menghembuskan co² itu ke udara.

Ravindra Karunasankara, pemuda bersurai hitam kecoklatan itu, pagi ini akan bergegas menuju kampusnya. Hari masih menunjukkan pukul 6.15 Wib, masih terlalu pagi untuk datang kekampusnya.

Ravindra ia biasa di panggil dengan nama itu oleh orang-orang di sekitarnya. Nama yang bagus. Ia menyukai nama itu sebab nama itu adalah pemberian sang Bunda.

Usai sarapan dengan nasi goreng alakadar yang ia buat sendiri, Kara segera menghampiri kendaraan roda dua yang terpakir gagah di halaman kostnya.

"Kita berangkat!" serunya pada kendaraan kesayangannya itu. Kendaraan pemberian terakhir sang Bunda. Kendaraan yang ia pakai guna menimba ilmu dan mencari sesuap nasi.

Dinginnya udara pagi ini menembus ngeri pada rongga paru-parunya. Walaupun pemuda itu sudah menggunakan hoodie tetap saja dinginya angin pagi ini bisa menembus tulangnya.

Tinggal sendirian di kota orang bukan sebuah perkara yang mudah, terlebih lagi hidup sebatang kara seperti ini. Tanpa adanya sanak saudara.

Bundanya telah berpulang satu tahun yang lalu akibat sakit diabetes yang sudah lama di idapnya, sedangkan sang Ayah, lelaki itu tak pernah tau wujudnya. Ia tak mengenalin wajah sang Ayah. Ayahnya pergi meninggalkan sang Bunda saat ia berusia dua tahun.

Kampus pagi ini masih terlihat sepi, karna Kara memang pergi terlalu pagi. Ia sengaja pergi pagi-pagi sekali hanya untuk melihat sang pujaan hatiㅡgadis yang ia sukai.

Usai ia memmarkirkan kendaraannya, ia bergegas menuju kelasnya.

"Allahhu Akbar!!" Kara terlonjak kaget saat Perempuan berambut panjang itu tertunduk di pojok ruang.

"Apaan sih anjing!"

Kara berjalan masuk dan mendudukan diri di samping perempuan itu, perempuan yang ia sukai.

"Lo kayak kuntilanak. Rambut panjang di gerai, baju warna putih pula. Udah mirip banget." gelaknya, yang di hadiahi tatapan sinis dari perempuan itu.

Tialira Arsyana, perempuan berambut panjang seperti kuntilanak ituㅡkata Ravindra Karunasankara ya!!. Itulah namanya, Tialira atau yang lebih di kenal Lira tapi kalau Kara memanggilnya dengan, Tiara. Walaupun Lira sering memarahinya jika di panggil dengan nama itu. Perempuan itu yang telah membuat Kara jatuh hati padanya.

Sudah lama di kenal namun tidak bisa menetap.

"Mau kemana?" cekatnya yang langsung di tepis oleh Lira.

Perempuan itu mendecih. "Mau ke kantin gue belom sarapan. Ikut ga? Biar gue traktirin." ucapnya.

Kara menggeleng, membuat Lira memutar mata malas, lelaki itu selalu saja menolak tawaran Lira untuk mentraktirnya. Ia meletakan kotak nasi berwarna biru muda itu di atas mejanya. "Gue bawa nasi goreng buat lo." Kara tersenyum sumringah, bola mata yang hitam itu tenggelem di rengut senyum yang indah itu, senyum bulan sabit.

Lira masih berdiri dengan tangan yang melipat di dadanya, galak.

"Lo ga suka ya?" Memanyunkan bibirnyaa. uhhgg Lucu.

"Ohhhh enggak." Senyumnya, "Enggak nolak dong, rajin-rajin gini Kar biar duit jajan gue hemat." Gelaknya.

Kini Lira sudah duduk di sebelah Kara, sudah siap ingin menyantap nasi goreng buatan Kara.

"Makasih, gue makan ya." Kara mengangguk dengan senyum yang begitu bahagia, ia suka melihat gadis itu memakan masakannya.

Lira tersentak, hampir saja ia tersedak saat Kara tiba-tiba saja mengikat rambutnya.

"Entar rambut kamu kotor. Makan yang banyak ya." Kemudian ia mengusak pucuk kepala Lira.

🧩🧩🧩

Ada dimana hari yang paling menyenangkan di hidup Lira.

Hari dimana akhirnya ia bertemu lelaki yang selama ini ia cari, Karunasankara.

Tepat lima tahun yang lalu Lira berjumpa dengannya di halte bus, di hari itu ia mengira Kara adalah ojek payung dan dengan seenak jidatnya Lira menarik Kara untuk menghantarkannya ke seberang jalan.

Dan tepat hari itu pula ia trus di hantui oleh sosok Ravindra Karunasankara. Gelang yang tertinggal itu membuat hidup Lira tidak tenang, ia selalu mencari nama-nama orang yang bernama Karunasankara. Namun semua nihil, tiap nama yang ia temui tidak ada satupun yang mengatakan gelang itu punyanya.

Ia menyerah mencari pemilik gelang itu dan berujung ia pakai sendiri.

Tidak sia-sia ia mengenakan gelang itu dan berujung bertemu dengan pemilik aslinya.

Lira lupa bagaimana bentuk wajah Kara. Yang ia ingat hanya postur tubuh yang tinggi dan eye smile di wajahnya.

Awal kembali bertemu saja, Kara yang menyapanya. Kara yang menanyakan perihal gelang itu.

Air yang ia genggam sedari tadi telah usai ia tegak habis. Cuaca yang panas siang membuat tenggorokannya terasa kering.

"Apa!!" Ketusnya.

"Engga pa-pa sih, gelang yang lo pakai cocok."

"Lo mau lagi?" Kara menggeleng cepat "Engga gue cuma bilang aja." imbuhnya.

Lira terkekeh pelan kemudian ia berdiri dari duduknya.

"Gue antar pulang yok." ajak Kara.

Mereka berdua kini tengah berjalan berdampingan di lorong kelasnya.

"Ogah ahh gue mau pulangㅡ" ucapannya terjeda, Lira asik melirik kesana kemari untuk mencari alasan agar sore ini dia tidak di antar oleh Kara.

"Gue pulang sama Lana aja." katanya menarik cepet lengan anak laki-laki yang berjalan di sebelahnya.

Lana diam, ia bingung. Kenapa ini?

"HAH??" Herannya melirik Lira.

Kara mengerinyit heran ke arah Lana yang telah di buat bingung, sedang Lira perempuan itu menatap tajam ke arah Lana yang membuat Lana bergidik ngeri. Tatapan itu memiliki artinya 'iya in atau gue bunuh lo'

"Ohh iya gue lupa." tawanya, bertepuk tangan kecil. Senyum Lira merekah saat itu juga.

"Bye." Lira melambaikan tangan itu ke arah Kara.

"Duluan, Bro." Ucap Lana menepuk bahu Kara.

🧩🧩🧩

Karunasankara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang