Bunda Dan Rumahnya

24 6 1
                                    

Menyerbaknya aroma melati di pemakaman  ini sungguh suatu hal yang menyenangkan.

Kara suka bila harus terus berkunjung kesini, setiap hari pun tidak pa-pa. Ia merasa senang bila terus didekat sang bunda.

Tanah kuburan di depannya tampak begitu kering. Sudah seminggu hujan tak kunjung membasahi kota ini.

"Bunda, Kara datang." Ia bersimpuh di samping nisan itu.

Doa ia panjatkan pada sang Mahakuasa. Meminta Tuhan mengampunkan segala dosa dan salah sang bunda. Meminta tempat yang paling terbaik untuk sang bunda.

Kara usap lembut nisan sang bunda. Air mawar dan bunga kembang yang ia bawa tadi sudah ia tabur di sana.

"Bener kata orang Bunda, kehilangan bunda semua dunia Kara hancur. Kara di dunia ini hidup sendiri. Kara cuma punya Lana sama Lira, cuma mereka berdua teman Kara. Tapi bunda, walaupun Kara punya mereka, Kara tetap ingin bunda selalu ada di sini. Kara ingin bunda lihat Kara sukses, lihat Kara wisuda nantinya. Bunda, Kara sayang banget sama bunda."

Hal yang paling ia takuti dulu, kini terjadi padanya. Kara tak mau ditinggal sendirian di dunia. Namun malang, takdir berkata lain.

Kehilangan bunda adalah momok paling menakutkan dalam hidupnya.

Kara cuma punya bunda, tapi kenapa bunda pergi?

Lelaki itu terisak. Air mata itu tidak dapat di bendung lagi. Pilunya isakan itu membuat orang-orang yang berkunjung memandang iba ke arahnya.

Tiap ia datang berkunjung ke rumah bunda. Tiap ia bercerita hari-harinya, air mata itu pasti selalu tumpah ruah. Dadanya masih terasa sesak, sama seperti satu tahun yang lalu.

Ceritanya hari ini panjang sekali. Kara bercerita banyak perihal hidupnya semenjak ditinggal Bunda. Bagaimana hari-hari yang ia lalui, hari yang semuanya berat namun ia harus kuat memikul beban itu.

Tidak boleh menyerah. Apapun alasannya jangan menyerah menjalani hidup ini.

Semasa bundanya hidup, perjuangan sang bunda sungguh besar.

Kara tidak berniat kuliah masa itu. Ia ingin bekerja saja membantu sang bunda, namun bundalah yang memaksa Kara untuk melanjutkan pendidikannya. Bunda ingin anaknya memiliki pendidikan yang bagus. Bunda ingin Kara memiliki gelar di belakang namanya.

Oleh sebab itu Kara berusaha agar pendidikannya ini tidak putus. Ia tak mau mengecewakan semua pengorbanan bunda.

Pernah Kara berpikir untuk berhenti kuliah, tapi ia ingat pesan bunda. Ia ingat banyak harapan-harapan bunda kepadanya.

Ia ingin bunda bahagia melihatnya dari atas sana.

Tidak apa-apa dia sampai terseok-seok asalkan apa yang diinginkan bunda dulu bisa di wujudkan.

"Bunda." panggilnya.

"Ada seorang perempuan yang Kara cintai, Kara rasa wajahnya juga sedikit mirip dengan bunda."

"Tiap Kara tatap mata coklatnya itu, selalu saja mengingatkan Kara soal tatapan bunda ke Kara."

"Namanya Lira, Tialira Arsyana. Namanya baguskan bunda?" tanyanya pada jiwa yang tak bisa menjawab lagi.

"Nanti Kara bawa dia kesini. Sayangnya dulu Kara tak sempat memperkenalkan Lira sebagai orang yang Kara cintai. Gadis yang Kara cari itu, Lira, bunda. 

Lelaki itu mencium nisan yang terasa dingin itu, "Nanti Kara percantik lagi rumah bunda ya? Kara pamit pulang dulu," ia berdiri sembari menepuk- nepuk celananya yang kotor.

"Yah bunda jadi sendiri lagi. Maaf ya bund Kara ga bisa nemanin Bunda." sendu anak lelaki itu.

Ia berjalan keluar TPU, meninggalkan jiwa bunda yang sudah terkubur tenang di sana. Sesak di dadanya lambat laun turut mereda. Ia pandang lama pusara itu dari depan gerbang, Kara tersenyum getir.

Motor itu melaju meninggal TPU. Awan jingga di atas sana berarak pergi. Menggantikan terang menjadi kelam.

🧩🧩🧩

Bunda, Kara di sini baik-baik saja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bunda, Kara di sini baik-baik saja. Kara masih punya orang-orang baik di sekitar Kara. Tapi bunda kalau boleh jujur Kara ingin selalu di dekat bunda. Kara ga bisa sebenarnya hidup tanpa bunda.

Ravindra Karunasankara

Karunasankara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang