Bermula Namun Tak Bermuara

23 3 0
                                    


Hari itu hujan membasahi kota yang kering kerontong. Memberi pilu untuk lelaki yang mulai hidup sebatang kara. Ia tidak pernah menyangka, bahwa satu-satunya manusia yang ada di hidupnya hari itu berpulang ke tangan Tuhan. 

Kara tidak tau harus hidup seperti apa saat ia ditinggal sendiri di kota ini. Ia berpikir, bahwa lebih baik menyusul bunda walaupun dengan cara yang salah. Kara tidak tau harus bagaimana menjalanin hidup sebatang kara. Ia tidak punya siapapun, tidak punya tempat berteduh dari ganasnya badai yang akan menimpanya. Tidak akan ada manusia yang mau nerima seluruh rasa sakitnya. Namun Tuhan Maha baik. Bertemu dengan Lira dan Lana adalah sebuah berkat yang tak ternilai harganya.

Dipertemukan dengan mereka yang membuat hidupnya merekah kembali. Terkhusus Lira, Stranger yang hari itu membuatnya gundah.

Ia tidak pernah tau kapan perasaan cinta itu tumbuh di dalam hatinya. Namun rasanya sangat lama. Lama sudah ia cintai gadis dengan banyak pilu itu.

Di payungnya gadis itu pertama kali. Saat hujan jatuh di kota yang membuat ia waktu itu tak yakin lagi untuk menjalani hidup. Lagak gadis itu sombong sekali, namun dari binar matanya dapat Kara lihat bahwa gadis itu adalah gadis yang baik. Sorot matanya penuh ketulusan.

Entah dasar apa, dadanya bergemuruh saat mata mereka saling bertatap. Lira berdiri, menyodorkan pecahan lima puluh itu di hadapannya.

"Maaf mbak saya bukan ojek payung."

Sampai di situ dan hanya kata itu yang menjadi akhir dari pertemuan mereka hari itu. Namun, hari itulah yang membuat Kara mencari-cari kembali gadis itu. Setelah ia sadar bahwa gelang pemberian bunda hilang.

Ia terus datang kembali, berharap Lira kembali ke halte itu. Ternyata gadis itu tidak pernah kembali. Dan sampai takdir menemukan mereka dengan tidak terduga. 

Kara simpan perasaan di hatinya. Ia tak berani mengungkapkan apa yang ia rasakan bertahun-tahun lamanya. Namun semakin lama ruang itu tidak mampu lagi menyimpan perasaannya. Ia sorakkan isi hatinya, ia sampaikan bahwa dia benar-benar mencintai Lira. Namun ternyata apa yang ia mau tidak terlaksanakan.

Lira tidak mencintainya kembali.

Langkahnya terseok-seok meninggalkan adegan romantis itu. Nyamannya pelukan Lana membuat tangis Lira mereda. Bagaimana Lana mengelus lembut surai panjang Lira, membuat Kara dibuat merintih hatinya.

Apa mereka saling mencintai?

Pikiran buruknya berputar di kepala. Selama ini Lana yang paling tau bagaimana perasaannya terhadap Lira. Apa selama ini ia salah bercerita?

"Mungkin aku yang engga sadar bahwa bagaimanapun keadaan berubah, kamu tetap seperti Lira yang dulu." Gumamnya.

Status sosial tidak pernah berubah. Walaupun gadis itu tengah berada dalam hidup yang paling rendah. Baginya, Lira tetap si kaya yang hanya pantas bersanding dengan si kaya pula.

Haikal adalah proposi yang pas. Dan Lana yang paling pas. Sedangkan Kara?

Kara hanya orang tanpa harta. Tanpa sanak saudara, bahkan ayahnya saja tidak jelas.

Saingannya adalah masa lalu yang sempurna, dan orang terdekat yang pernah ditaruh perasaan lebih.

Keberadaan Kara abu-abu di antara Haikal dan Lana.

Memang dari awal perasaannya sudah salah. Salah jatuh cinta pada gadis yang hidupnya sudah sempurna.

🧩





















Anila malam menemani dua anak manusia yang terbelenggu. Dalam gelap malam yang dingin, dua anak manusia itu terduduk menatapi langit yang dihiasin beribu bintang.

"Kara itu lebay banget ya, Lan." Gadis itu menoleh. Menatap lelaki yang kini mengerutkan dahinya.

"Karna?" Lana menelengkan kepalanya. Penasaran dengan ucapan gadis itu.

"Dia bilang aku kayak bulan. Yang paling terang dari beribu bintang. Dia cuma liat aku dari hal baik aja. Dia lupa buat liat sisi buruk dalam hidupku." Gadis itu menoleh pada Lana. Senyum getirnya tercipta di wajah ayu miliknya. Sorot mata itu membuat Lana tersenyum sendu.

"Dia bakalan nerima semua sisi kamu. Aku yakin itu."

"Engga bisa, Lana." Lira palingkan pandangannya.

"Kamu selalu punya beribu alasan buat nolak apapun yang engga kamu inginkan, Lira. Tapi buat yang satu ini, kamu engga punya alasannya. Jawaban kamu selalu rancu." Lana berujar. Hafal sekali dengan tabiat gadis ini.

"Emang aku engga punya alasan buat nolak dia, makannya aku menghindar. Aku cuma engga mau kalau apa yang Kara inginkan selama ini engga akan pernah dapat kalau dia sama aku. Kamu mana ngerti, Lana." Gadis itu berujar. Dadanya terlampau sesak saat ia harus menyadari bahwa ia dan Kara adalah dua anak manusia yang tak akan pernah bersama.

Lira tidak punya alasan buat menolak lelaki sebaik Karunasankara. Namun, apa bila mereka bersama akan banyak sekali resah di antara mereka.

Gadis itu tidak mau kalah akan perasaan cintanya. Ia harus memikirkan bagaimana hidup kedepannya. Ia dan Kara bagai magnet yang bertolak belakang.

Pembahasan itu terhenti begitu saja. Lana yang tak berminat memperjangnya. Lelaki itu hanyut dalam lamunan malam yang tak menemukan ujungnya. Dipikir-pikir kenapa ia harus ikut pusing dengan persoalan cinta temannya ini. Kisahnya saja tidak pernah mulus. Namun, isi kepala Lana banyak menimbulkan pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada Lira.

Laki-laki itu menoleh. Ia perhatikan gadis yang kini tengah mengapit kedua lututnya. Lana tekan bahu Lira dengan telunjuknya. Lira mendongak. Gadis itu merubah duduknya, bersila.

"Kenapa?" Tanyanya.

"Kara punya semua yang kamu mau dalam hal kepribadiannya. Namun satu hal yang engga dia punya. Aku rasa satu hal ini yang buat kamu nolak dia." Lana berujar. Mungkin saja kali ini tebakannya benar.

"Apa?"

"Harta." Kata Lana dan membuat gadis di sampingnya tertegun cukup lama.

"Kamu pernah bilang, kalau kamu tetap ingin hidup seperti kemarin. Tidak pernah kurang sedikitpun. Apa yang kamu mau semua akan mudah didapatkan. Kamu engga mau hidup susah, karna sejauh ini papa kamu selalu ngasih semua yang kamu. Selama ini satupun permintaan kamu engga pernah ditolak."

"Bukan begitu, Lana." Gadis itu berdecak. Malas sekali dengan pemikiran kunonya yang dulu.

"Terus gimana, Lira?" Lana seperti menuntut penjelasan. Entah ia penasaran atau bagaimana.

"Mending kamu pulang. Sekarang udah jam sepuluh malam." Gadis itu menekan ucapannya. Ia arahkan ponsel yang menampakan jam pada lockscreen hp nya.

Lana berdiri, "Mau izin dulu sama mama kamu."

"Engga usah. Beliau udah tidur." Katanya.

"Oh. Maaf." Lelaki itu melangkah maju menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari mereka duduk.

Mobil yang Lana kendarai sudah mulai menjauh dari hadapan Lira. Gadis itu melangkah masuk ke dalam rumah. Ia bergumam kecil. Kesal sekali dengan Lana yang kini tampak kepo soal alasanya itu.

"Cowok aneh." Katanya setelah selesai mengkunci pintu rumahnya.

🧩


Karunasankara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang