Yang Hilang

18 4 0
                                    

Lamunan panjangnya menemani malam yang sangat ia benci. Lira benci kala malam seperti ini mulai hadir dalam hidupnya. Ia tak suka saat kepalanya tak berhenti memikirkan hal yang tak berguna.

Caci maki di lantai bawah menjadi peneman dari lamunannya malam ini. Gadis itu meratapi betapa hancurnya kehidupan yang dulu ia banggakan. Betapa bahagianya saat keluarga menjadi tempat pulang paling nyaman. Rumah yang penuh tawa dan kegembiraan.

Semua lelah hilang tak kala sambutan hangat yang selalu orang tuanya berikan.

Kini, ia hanya mampu merindukan moment itu.

Rasanya ia ingin sekali keluar dari rumah ini.

Gadis itu suka sekali berkelana di malam hari. Ia pulang kerumah saat orang-orang sudah terlelap. Hanya dengan cara itu, agar ia tak mendengarkan pertengkaran yang memuakkan. Namun, hari ini jam pulangnya harus cepat daripada biasanya.

Ulah Kara―semua ini salah Kara. Salah Kara yang tiba-tiba menyatakan perasaan padanya. Andaikan lelaki itu tidak menyatakan cintanya, mungkin gadis itu masih berkeliaran entah kemana. Dan ia tak perlu mendengarkan pertengkaran ke dua orang tuanya ini.

Lira mendengus, berdiri dari lamunan yang sungguh memuakkan. Gadis itu berjalan keluar dari kamarnya. Ia teringat bagaimana keadaan adik bungsunya itu.

Jiyan sering ketakutaan saat pertengkaran itu terjadi. Namun yang ia dapati malam ini sungguh membuat ia heran. Gadis itu terheran saat sang adik hanya sibuk dengan ponsel yang dimiringkan.

Lira mendekat, "Engga dengar?" Tanyanya. Dan mendudukan diri di tepi ranjang adik bungsunya.

"Jiyan udah mulai terbiasa. Sungguh musikal yang merusak mental." Katanya dan masih asik dengan game yang ia mainkan.

"Maaf ya.... kalau mama sama papa sekarang engga kayak dulu lagi." Hati gadis itu mencelos saat ia dapati sorot mata Jiyan penuh ketakutan. Anak lelaki itu sangat terkejut dengan perubahan orang tuanya tahun ini.

Kemana hilangnya perlakuan lemah lembut ini?

Tutur kata yang selalu baik, cara bicara yang halus, dan riuh tawa yang selalu bahagia. Semua entah hilang kemana?

Jiyan sudahi gamenya. Sejujurnya ia tidak mengerti dengan game itu. Jiyan memainkannya hanya untuk menghilangkan rasa takutnya.

"Kak Lira ga usah minta maaf. Bukan salah kakak." Katanya dan mengelus bahu sang kakak.

"Kakak mewakilkan mereka buat kamu."

"Engga perlu."

Lira menghela nafas, "Ya udah. Kamu tidur aja. Mereka juga udah berhenti." Jiyan mengangguk. Dan kemudian Lira mengusap lembut pucuk kepala adiknya. Gadis itu berjalan keluar dari kamar si bungsu.

Langkahnya terlalu gontai untuk mencapai tujuannya. Lelah sekali perjalanan hidupnya tahun ini.

🧩🧩🧩







Lana berjalan menghampiri Lira yang kini tengah asik melihat jejeran buku di perpustakaan.

Ia tepuk pelan bahu gadis itu, sehingga membuat sang empu terperanjat.

"Sorry...Gue kira fokus liatin buku. Taunya ngelamun." Lana berkata demikian.

Karunasankara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang