Usai

22 0 0
                                    

"Haikal."

Suara lesu ini mengisi gendang telinganya. Haikal duduk di sisi ranjangnya. Lelaki itu tak kunjung menjawab panggilan itu. Ia biarkan deru nafas Lira menguasai indra pendengarnya.

"Haikal. Dahulu tiap kali bersama kamu, rasanya bahagia sekali. Aku takut kehilangan kamu. Aku enggak mau melewatkan satu haripun tanpa kamu. Rasanya hampa kalau kamu enggak ada di dekat aku. Aku pernah jadi wanita yang membuat sebagian orang iri dengan kehidupanku. Aku pernah dicintai oleh kamu, kamu yang tidak pernah mengecewakanku. Pernah jadi yang selalu ada buat kamu. Pernah jadi satu-satunya yang mengisi hati aku. Rasanya bahagia sekali, Kal. Sampai-sampai aku enggak tau gimana mengungkapkan bahagia itu. Namun...."

Lira melenguh. Ia tarik kembali nafas sesaknya. Baginya menghubungi Haikal jam segini mengingatkannya pada masa bahagianya dulu, namum malam ini, kehampaan yang menyelimuti hatinya.

"Namun... ternyata kamu racun dan bom waktu dalam hidupku." Katanya.

Mendengarnya cukup membuat Haikal tertohok. Ia taruh telepak tangannya di dada. Entah kenapa nyeri sekali saat mendengar kalimat itu.

Sekali lagi Lira memanggilnya. Lelaki itu tidak menjawab, hanya ia dengarkan berbagai keluh kesah yang selama ini menghantui Lira.

"Kamu luka buat aku. Kamu mendatangkan cinta itu dan juga meninggalkan trauma buat aku."

Gadis di sebrang telepon itu tersedu. Ia menangis tersungkur dilantai kamarnya. Sedangkan Haikal? Lelaki itu tidak sanggup mengatakan apapun.

Haikal bangsat! Umpatan yang sering Lira katakan itu memang sangat cocok untuk dirinya.

Lelaki itu sadar, bahwa kesalahannya itu membawa dampak yang buruk bagi perempuan yang ia cintai.

Perempuan yang ia cintai? Dan kini Haikal kembali berpikir. Kalau seperti itu perbuatannya pada Lira, berarti ia bukan mencintai Lira.

Lelaki mana yang memberi trauma untuk perempuan yang dicintai?

Haikal mengacak-acak rambutnya. Marah sekali ia dengan perbuatannya dulu. Lelaki itu tidak berpikir kedepannya, hari itu ia cuma mau selamat dari segala gosip murahan. Haikal tidak mau ia turut dihina seperti Lira.

Saat itu ia hanya menyelamatkan dirinya sendiri.

Ia buang gadis itu ke jurang paling dalam. Hancur sudah segala hal baik di diri Lira.

Dan kini Haikal menyesali perbuatannya. Kenapa? Dan mengapa ia sakiti gadis yang sangat mencintainya.

Haikal raih kembali ponselnya yang sudah tergeletak di atas kasur. Panggilan itu ternyata sudah selesai. Ia ulang panggilan itu, namun Lira tidak menjawabnya.

Diulang sekali lagi, dan nihil.

Haikal usap kasar wajahnya, "Ayo angkat, Ra. Ayo angkat." Harapnya.

Tanpa di sadari bulir bening itu sudah membasahi pipinya. Isaknya mulai terdengar kala mengingat beda kejamnya Haikal hari itu.

Sambungan itu diterima. Haikal lega. Suaranya terdengar menggebu-gebu. Ia tarik nafas panjangnya guna menghalau isakannya.

"Lira..., aku mau―

"Kamu selingkuhi anak saya? Haikal, mulut kamu manis sekali memohon kepada saya, Taunya kamu kurang ajar sekali. Jauhi Lira, kamu dan Lira tidak setara lagi."

"Ma...Haikal bisa―" Panggilan itu terputus.

"Haikal bisa jelasin, Ma."

Bahu Haikal merosot. Ia sandarkan punggungnya ke dipan kasur. Haikal tatap lurus kedepan dengan mata yang kembali basah. Kini ia tau bahwa rasa ini sangat menyakitkan. Rasanya belum seberapa sakit yang ditanggung Lira.

Karunasankara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang