Bab 7

3K 135 1
                                    

PoV Nagito

"Kusut amat mukanya, Mas Gi. Napa?"

"Oh, Ndah, ng, nggak apa kok, ini Mak belum kirimi nomornya Ros. Padahal aku minta dari kemarin."

Indah melirik pada ponsel baruku. "Ros istrimu itu? Kok bisa? Kan sebelahan mereka tinggalnya."

"Tau, tuh, mungkin Mak kelupaan." Aku urung ngetik pesan. Yang tadi saja tidak Mak balas.

"Ya udahlah, Mas, kalo lagi di kantor fokus aja sama kerjaan dulu. Masalah istri ntar pikirin lagi kalo dah pulang."

Aku tersenyum keki. "Ya, maaf, jadi nih ajarin aku bikin desain promosi?" Aku mangantungi handphone pengganti milikku yang hilang kemarin. Entah di mana benda sial*n itu nggak ketemu sampai sekarang.

"Jadilah, yuk, ke ruangan aku. Ntar aku ajarin pelan-pelan. Kamu bisa pake buat promosi di media nanti lho, Mas."

Indah mengajak ke ruangannya. Kami membalas sapaan dua karyawan lain yang berpapasan. Sampailah di ruangan tak terlalu besar, tapi lengkap dengan sofa tamu.

Indah Juwita bisa dibilang termasuk konsultan senior di kantor ini, menjadi kepercayaan si bos. Dia sudah kerja 7 tahun, dan kudengar dijuluki sebagai Ratu Closing. Cara Indah bicara memang sangat teratur, tenang, dan enak didengar, pantas dia pandai memikat calon klien hingga teriming membeli. Kesempatan baik belajar darinya.

Aku dipersilakan duduk di kursinya, menghadap laptop di meja. Sementara dia menarik kursi lain ke sebelahku. Mulai menginstruksi bagaimana membuat kalimat singkat nan menarik untuk promosi penjualan via digital.

Karena aku masih baru di bidang ini jadi perlu bimbingan dan pelatihan dari agen lama. Kantor ini cukup besar, berlisensi, juga masuk dalam Asosiasi Real Estate Broker Indonesia, dengan kesempatan sukses tinggi jika serius bekerja.

Meski gaji termasuk kecil, tapi penghasilan dari komisi penjualan lah yang sangat diharapkan bisa mengubah masa depan. Hal ini membuatku harus bekerja ekstra ke depan.

"Nggak usah terlalu ribet kalimat panjang kalau jelaskan, gini aja ...." Di awal otakku masih fokus, mendengarkan saksama. Nah, karena terlalu semangat mungkin, Indah kadang bicara terlalu dekat, kalimatnya terdengar bagai musik di telinga sehingga otakku mulai blank.

Ampun dah, wangi napas segar dan aroma lembut bunga khas perempuan dari Indah, entah di menit ke berapa membuat imanku goyah. Mata jadi memerhatikan bibirnya yang bergerak lincah mengeluarkan kata-kata.

Muncul kagum, juga terpukau atas kepintaran juga ... dandanannya yang tidak berlebihan. Kenapa Indah terlihat menarik dipandang? Hahh, mataku sulit berpindah.

Setengah jam di ruangan ini berdua, entah siapa memulai. Berawal dari belajar tentang promosi digital tiba-tiba aku tersadar bibir kami malah menyatu. Siapa sih tadi yang memulai duluan? Aku lupa.

"Astagaaa ...! Maaf, maaf, Ndah, aku benar-benar nggak sadar." Aku lekas berdiri dengan jantung berdegup tak karuan, sementara dia masih duduk tenang di kursinya.

"Jangan pikir aku murahan karena kita barusan, Mas Gi. Terjadinya cuma baru sama kamu," ujarnya membuat hatiku tak nyaman.

"A-aku keluar dulu."

Rasa bersalah menyergap. Harusnya itu hanya kulakukan pada Ros. Duhh, tiba-tiba aku sangat merindukan istriku itu.

Menyudut ke luar halaman kantor, aku menghubungi Mak. Cuma nomor Mak yang kudapat dari Pardi. Dengan pinjaman uang darinya juga aku membeli handphone ini, saat milikku yang lama itu raib entah di mana.

"Halo, Mak, kenapa Mak belum kirim nomor Ros?" tanyaku begitu panggilan diangkat.

"Mak lupa, To. Nantilah ya."

"Gito minta sekarang, Mak. Tolong Mak sebut nomornya biar Gito catat." Aku ambil bolpoin dan kertas di saku. Bersiap mencatat.

Hahh, rasa rindu ini mendesak. Mungkin karena merasa bersalah atas kejadian tadi. Seumur hidup hanya Ros yang pernah kucium Sumpah!

"Aduh, To, ini kok ndak ada nomor Ros di handphone Mak. Kehapus kayaknya ... nanti tunggu Mak pulang saja tanya Ros lagi. Ada apa? Kamu sepertinya sangat ingin bicara dengan Ros."

"Gimana enggak, Mak? Ros itu tetap masih istriku. Sudah tiga hari ini kami belum kontak sama sekali. Aku kangen istriku, Mak," ungkapku jujur. Entah kenapa jadi sedikit lega mengeluarkan kalimat itu.

"Jangan terlalu kamu pikir-"

"Apa tadi Ros ada di rumah, Mak? Dia sudah pulang kan?" Aku cemas kemarin dengar kabar Ros tak pulang sehari semalam. Walaupun Mak dan Mbak Nana bilang Ros jalan-jalan entah ke mana, tetap saja aku takut dia kenapa-kenapa, apalagi bawa motor bebekku yang setirnya sudah kurang stabil bekas jatuh dulu.

Walau ada rasa kesal, aku tidak bisa membenci Ros begitu saja.

"Ada orangnya juga kayak ndak ada, To. Istrimu makin menjadi-jadi. Kerjaannya tidur makan tidur makan ngabisin uang Mak. Kamu kapan kirim uang ke sini? Mana Ros itu katanya hamil. Makanya makan makin rakus!"

"Apa, Mak? Ros hamil?" Aku memfokuskan telinga. Iya benar, Mak bilang Ros hamil, hatiku langsung terasa ada hangat-hangatnya.

"Ibuknya juga datang kemarin, sama suami barunya itu. Bikin Mak tambah repot melayani mereka."

Aku tersenyum kecut, Mak sekarang kok terdengar mudah mengeluh. Mungkin Mak capek. Semoga bulan ini aku dapat closing dan komisi besar, biar bisa carikan pembantu di rumah.

"Sabar ya, Mak, pakai uang Mak Bapak dulu. Gito baru kerja, kalau sudah ada gaji baru Gito bisa kirim gantinya. Sekarang benar-benar kosong pegangan. Untung Pardi baik mau minjamkan aku. Sudah dulu, Mak, nanti Mak pulang aku telpon lagi."

Aku akan jadi seorang bapak? Wahh, itu terdengar menyenangkan. Tarikan napas terasa makin lega.

Aku memaafkanmu, Ros, sehat-sehatlah demi calon anak kita.

.

Sore hari, aku tak sabar kembali menghubungi Mak. Baru sampai di kos milik Pardi yang ku utang sewa per bulan, aku menjatuhkan diri di kasur lantai, dan langsung mencari kontak Mamak.

Terhubung. Namun kecewa muncul, Mak malah sedang ngomel panjang tentang Ros yang katanya tidak ada di rumah.

Rasa runtuh kesabaran. Andai dekat aku akan segera ke sana mendatangi Ros sendiri.

"Anaknya Ayuni memang sifatnya nurun begitu! Kurang diajari dari orok memang. Sopan santunnya blass ndak ada!" Hahh ... telingaku panas. Kujauhkan speaker seraya mengembuskan napas panjang. Kemana lagi kamu, Ros? Bikin Mamakku tegang saja.

"Mak?" Kutempel lagi ke telinga. Eh, omelan Mak belum habis. Baiklah tunggu dulu sampai reda.

"Mak sabar ... makanya Gito telpon biar bicara langsung dengan Ros," selaku karena sudah puluhan menit Mak masih marah-marah.

Tak habis akal aku minta Mak panggilkan Mbak Nana saja.

"Mau bicara apa sama mbakmu, To? Jawabannya sama saja. Si Ros juga ndak ada hormat-hormatnya sama kami semua!"

"Iya, Mak, iya, Gito paham. Maafkan istri Gito sudah buat keluarga kita nggak karuan. Biar aku bicara dengan Ros, aku yang akan selesaikan, tolong tanya Mbak Nana berapa nomornya?" tekanku.

"Mak terlalu capek, To ... kalau kamu pikirkan Mak, buang saja orang seperti itu. Manusia yang sama sekali ndak ada gunanya, huuu! Baru ini ... Mak minta padamu, To ... huuu," tangis Mak tumpah di ujung omelan panjangnya.

"Astaga ... bagaimana bisa aku ceraikan Ros yang lagi hamil, Mak?"

"Biar dia rasakan! Dia itu memang turunan ndak jelas. Dulu ibuknya juga hamil saat suaminya merantau. Ada kemungkinan Ros itu anak jad*h, To! Dia sering pergi diam-diam begini dari dulu. Apa kamu yakin yang di perutnya anakmu?!"

Ucapan Mak terdengar menggelegar di otak, sampai benda pintar seharga 1,9 juta ini terlepas dari tanganku.

Berdasarkan apa tuduhanmu itu, Mak, Makk ...?

Argggg! Aku iso edaaan yen koyo ngene!

Menantu yang Dihina (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang