"Kalau istri gugat cerai duluan ribet nggak ya, Mel?"
"Ha?! Istri siapa gugat siapa, Ros?" Amel terperangah dengan pertanyaanku.
Sejak tadi dia tampak curiga aku ada masalah, datang ke sini dengan wajah tegang dan pucat, katanya, aku juga sempat lihat di spion motor. Begitu sampai aku disuruh minum dan baring di kamarnya Amel.
"Maksudmu ... kamu mau gugat cerai Mas Gito, Ros?" tanyanya lagi karena aku diam.
"Ya, mungkin gitu. Aku rasane nggak kuat lagi, tinggal sebelahan sama mertua ... Mas Gito juga pergi gitu aja."
Perasaan jadi sensitif, cerita begini saja air mataku bercucuran membasahi bantal. Sepulang dari puskesmas aku sengaja ke Terboyo Wetan dulu, numpahin sesak isi hatiku pada Amel. Dia satu-satunya teman yang bisa kupercaya buat cerita.
"Ros ... kamu yakin sampe mau pisah? Sudah dibicarain belum sama Mas Gito? Siapa tau dia minta kamu nyusul ke sana." Sudah kuceritakan tadi padanya kalau Mas Gito baru pergi merantau.
Aku menggeleng sambil menghapus ingus dan air mata. "Mas Gito sama aja, enggak peka, Mel ... dia itu jauh lebih dewasa kalau dilihat tampangnya, tapi kalo marah sifat kekanakannya keluar ... kata-katanya kasar ...." Air mataku tumpah lagi ingat kata-kata pedas suami.
"Ya Allah, kok bisa sih Mas Gito gitu ...?" Amel mengusap bahuku.
Usiaku dan Amel sama 23 tahun lewat tiga bulan, kami lahir cuma beda 10 hari, aku tanggal 5 dia tanggal 15. Sejak aku menikah kami hampir nggak pernah jalan-jalan lagi, kecuali aku sempatkan ke sini. Aku sibuk dengan pekerjaan di rumah, sedang Amel sibuk bantu ibunya jualan nasi campur di seberang rumah ini.
Waktu itu aku memang tak terpikir rumitnya masalah pernikahan, gara-gara kepincut berat sama tampang Mas Nagito yang keren, tambah lagi dia pegawai bank, rasanya serba manis dan bangga. Tapi sekarang entah ke mana rasa bangga itu pergi.
"Kalau nurut aku kamu ngobrol dulu baik-baik sama Mas Gito, Ros. Kalau masih rasanya nggak didukung baru kamu pikir lagi. Dulunya aja kebelet nikah, baru setahun masa dah mo pisah? Aku sih belum ngerasa, tapi bener kali ya kata Ibu, nikah itu nggak seindah yang dibayangkan, nggak selalu manis kayak masa pacaran."
Aku diam, cuma mengusap air mata yang masih melesak keluar.
"Kamu ingat kan pesan Ibukmu waktu dulu mau akad, Ros? Apa pada Ibukmu sudah kamu ceritakan?"
Ibuk? Ah, mana bisa aku lupa. Dulu Ibuk berulang-ulang bilang, kalau sudah nikah aku harus maksimalkan diri sebagai istri, belajar selesaikan masalah sendiri, jangan noleh ke kiri kanan juga belakang, pandangan lurus ke depan sampai tujuan pernikahan itu tercapai.
Apa kiri kanan itu maksudnya sikap Mak mertua dan Mbak Nana? Ah, Buk ... gimana Ros nggak lihat mereka, kami kayak tinggal serumah.
Aku segera duduk mengusap sisa-sisa air mata. Bisakah aku bertahan di sana dengan merdeka, tak peduli apa yang Mak dan Mbak Nana lakukan, sampai Mas Gito menceraikanku?
Amel menatapku iba. "Kamu kurusan, Ros. Makan dulu, yuk. Kita ke warung. Kamu pucet banget." Amel menyentuh keningku. "Anget. Kamu lagi sakit, ya, Ros?"
"Kurang segar aja, Mel. Aku tadi sebenarnya masih sakit pinggang, tapi pas habis dari puskesmas sakitnya agak kurang. Mungkin efek grogi karena disuruh periksa kandungan."
"Periksa kandungan kenapa?"
"Aku diperkirakan hamil."
"Trus sudah periksa?" Amel jadi antusias.
"Belum. Nanti sore mau ke bidan aja. Aku siapkan mental dulu, Mel. Kalo beneran aku juga butuh tenang buat mikir harus gimana ntar."
Amel yang duduk di tepi ranjang sebelahku, menatapku dengan penuh simpati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menantu yang Dihina (END)
Ficción GeneralKisah hidup Ros, si menantu yang dihina dan dijadikan seperti pembantu.