Aku memasang senyum lebar, apalagi seorang ibu di sebelah mantan mertua terdengar mengenaliku.
"Itu bukannya mantan mantumu, Mbak Tar?"
Dia beralih pada Mbak Nana. "Mantan istrinya Nagito ya, Na? Hampir aja aku ndak kenal. Kulit pipinya kok yo iso cling kayak kaca gitu yo?"
"Assalamualaikum Mak, Pak, Mbak Nana. Kebetulan kita ketemu di sini." Senyum ku pamerkan, rasanya puas menyapa mereka tanpa beban, tambah lagi muka mantan Mak mertua jadi berlipat-lipat kusutnya. Seperti mau menyahut salah dan tak menyahut tidak enak dengan Mas Byakta.
"Waalaikumsalam," jawab ketiganya datar.
"Waalaikumsalam, iki Mbak Rosita beneran tho? Ya Allah Gusti ...makin ayuu." Wanita agak muda dari mantan Mak mertua itu yang antusias, memegang lenganku, memandangiku dengan sorot kagum berlebihan.
"Ayo kita temui Bapak." Mas Byakta mengajak, akupun pamit dengan wajah tetap super ramah pada semuanya.
"Oo, dua anak Bapak ini sudah datang rupanya." Sapaan dari suara berat khas Pak Basri itu mengalihkan perhatian kami semua. Terdengar beberapa suara langsung menyapa beliau.
Aku dan Mas Byakta sama-sama mendekat, bergantian menyalim tangan Pak Basri.
"Alhamdulillah Bapak sehat," ucapku lega, bersyukur lihat keadaannya yang sehat walafiat. Tidak tampak seperti habis jatuh.
"Alhamdulillah. Bapak masih bisa bertemu kalian berdua bersama-sama begini. Ayo kita ke rumah. Bapak dan semua sudah nunggu dari tadi."
"Nunggu mau ngapain, Pak?" Mas Byakta juga tampaknya penasaran sama sepertiku apalagi ada suara pengumuman, berasal dari lelaki gembul yang memegang mic di sana, meminta warga yang ada di halaman ini untuk ikut masuk, katanya ada syukuran kecil-kecilan. Syukuran penting bagi Pak Basri.
"Mas beneran nggak tau ada syukuran?" tanyaku yang jalan di sebelah Mas Byakta.
"Belum tahu, Bapak nggak bilang."
"Pakaianku gini lho, Mas." Aku menatap baju, jaket dan celana rok yang kupakai
"Udah nggak apa. Aku juga seadanya. Paling cuma minta doa."
Kami masuk di ruangan yang luasnya seperti lapangan. Baru pertama ini aku tahu rumah besar Pak Basri di Trimulyo. Kalau rumah pekerja di Terboyo itu masih biasa seperti rumah warga umumnya.
"Nak Ros dan Bisma duduk sini." Pak Basri memintaku dan Mas Byakta duduk sederet dengan beliau di depan, lantai beralas karpet lembut, tapi duduk di kursi.
Ruangan ini sudah diatur seperti akan ada acara saja, sofa panjang menghadap puluhan kursi yang diduduki para warga yang datang.
Di sana, di kursi ujung, tampak mantan mertua dan ipar kasak-kusuk baru duduk. Bibir manyun bergerak-gerak, sepertinya terpaksa ikut bergabung.
Aku tetap memasang senyum, padahal hati ini gugup dan bingung. Ada apa sebenarnya ya? Mas Byakta juga diam saja di sebelahku, hanya sesekali bicara bisik-bisik dengan lelaki berbatik yang mendekatinya, entah mereka bicara apa.
"Terima kasih bapak Ibuk dan saudara-saudara saya sekalian sudah sudi hadir di sini. Maafkan undangan saya mendadak ya. Walau begitu insyaallah sudah saya siapkan hidangan buat kita sarapan bersama, nggih." Dengan bahasa Jawa yang sangat sopan Pak Basri sendiri membuka acara.
"Sebelum kita sarapan bersama, saya mau memberi tahu kabar gembira sekaligus meminta doa baik Bapak Ibuk dan saudara-saudara semua. Kalau ..." Pak Basri menoleh padaku, tersenyum hangat. "Nak Rosita ini saya lamar ..."
"Haa?!" Semua kaget termasuk aku.
Masa, Pak Basri mengundang orang-orang untuk melamarku? Ya Allah ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Menantu yang Dihina (END)
General FictionKisah hidup Ros, si menantu yang dihina dan dijadikan seperti pembantu.