Bab 15

3.9K 169 7
                                    

Kupikir kedatangannya memang berniat perbaiki semua. Sempat terbersit sedikit harap dia memperjuangkanku. Tapi ternyata ... Mas Gito sama saja.

"Atiku loro, Maas ... lorooo ... aku ndak terima rasane Ibuk difitnah begituuu ...!" Baju Mas Arif kutarik erat sambil sesenggukan di dadanya.

"Dek, eling. Istighfar ...." Mas Arif menepuk-nepuk pelan pundakku. Dibiarkannya aku keluarkan semua rasa tak terima atas ucapan Mas Gito tentang Ibuk. Fitnah kejam darimana yang mereka tuduhkan!

Mas Arif datang setelah aku nyaris pingsan karena sesak menahan tangis. Mas Byakta menghubunginya untuk segera ke sini.

Tadi aku sempat diperiksa dokter jaga, hanya terlalu tegang katanya. Aku disuruh istirahat dan tak boleh terlalu banyak yang mengunjungi dulu.

Beberapa lama aku akhirnya bisa tenang di pelukan Mas Arif. Cuma kami berdua di kamar ini. Mbok Sri dan Hanif sudah diantar Mas Byakta pulang. Mas Arif yang akan menjagaku malam ini.

"Sudah lega?" tanyanya sembari perbaiki letak jilbabku yang miring.

Aku mengangguk. Suara senggukan masih sesekali keluar.

"Minum dulu." Mas Arif memberikan segelas air mineral. "Adek mas kalau nangis jadi jelek. Lihat, matanya jadi sipit. Adek siapa sih ini?" godanya sembari menjauhkan muka, membuatku spontan tersenyum.

"Maas, ih, orang lagi sedih diketawain." Kucubit lengannya pelan.

"Lihat ini, baju mas diingusin. Yahh, mana nggak ada gantinya lagi," keluhnya berpura mbesengut.

"Ihh, Mas Arif ..." Tak bisa tidak, aku pun tertawa lepas, malu melihat di dada baju koko coklat mudanya memang ada cairan hidungku.

Mas Arif mengusap dengan tisu basah.

"Masa sama ingus adek sendiri jijik tho, Mas?" protesku.

"Bukan jijik, Dek, Mas ini memang lupa bawa baju ganti."

"Beli baru aja. Atau pinjam punya Mas Byakta?"
Mas Arif nyengir. "Becanda. Mas bawa baju koko tiga kok, cuma ya di rumah."

Aku kembali minta minum biar lebih segar. Sekarang hatiku sudah plong.

"O ya, Mas tadi tahlilan di mana?"

"Di masjid dekat rumah Pak Basri."

Obrolan kami berdua sudah berganti topik, membahas doa bersama buat Ibuk yang ngundang beberapa anak panti bakda Magrib tadi. Mas Arif tetap adakan di sini juga walau Pak Suryo juga adakan tahlilan di Kalibening.
Insyaallah kiriman banyak doa bisa meringankan jalan Ibuk di sana.

.

Pagi ini, aku merasa jauh lebih segar daripada semalam. Mungkin karena sebelum berangkat ke bandara Mas Arif kembali lagi ke rumah sakit, menemuiku. Mas eninggalkan pelukan dan pesan yang menenangkan.

"Dek, ingat ya, jangan dibawa ke hati apapun yang orang katakan tentang kita, tentang Ibuk. Kita memang nggak bisa buktikan kebenarannya karena orang yang bersangkutan semua sudah tiada. Yang masih hidup ini, lebih baik melanjutkan silaturahmi orang tua kita saja. Kamu nanti di Mijen sering-seringlah nengok keluarga, hm?"

"Ya, Mas, Ros ingat. Makasiih banget, Mas Arif paling bisa nenangkan hati Ros. Ros bangga punya mas kayak Mas Arif." Aku membalas pelukan Mas Arif erat-erat.

"Hem, adek mas ini bisa aja mujinya." Pucuk kepalaku diusapnya.

"Memang benar, Mas. Ros bakal kangen Mas Arif."

"Iyo, yang sehat. Kuat. Pas ndak sibuk mas ke Mijen samperin Adek lagi."

"Iyo, Mas."

.

Menantu yang Dihina (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang