Bab 11

3.1K 164 1
                                    

"Arg! Mas, perutku!" Saat Mas Byakta dudukkan aku ke mobil, pinggang dan perutku nyeri kuat.

"Kenapa?"

"Sakit sekali, Mas!" Napas terasa susah ditarik.

"Coba rileks, Ros, tenang ya kita ke rumah sakit."

Mendengar eranganku mobil Mas Byakta lajukan cukup cepat. Aku sudah berusaha rileks menarik napas panjang pendek, tetap saja nyeri ini terasa akan memutuskan pinggang dan perutku.

Terasa ada yang merembes basah di sela paha, kusentuh cairan itu. Melalui lampu mobil bisa terlihat warnanya.

"Da-darah ...?" Seketika aku kian tegang. Ya Allah semoga bayiku baik-baik saja.

Mas Byakta terus memintaku tenang, meski suaranya sendiri agak tergagap.

Aku bersandar pasrah di kursi mobil, sambil menutup mata. Nyeri ini dan cairan yang merembes terasa semakin deras. Tubuhku pun melemas.

"Ros, tetap sadar, Ros. Kita akan sampai."

Aku nggak tau bagaimana caranya Mas Byakta kemudian bisa menyetir sambil merangkulku, berusaha memintaku tak menutup mata.

Detik kemudian mobil berhenti diiringi suara permintaan tolongnya. Semua suara terdengar samar di telingaku.

Tolong Allah, jangan sampai aku bikin Ibuk khawatir lagi ... selamatkan aku dan sehatkan bayiku ....

.

Entah berapa lama aku tertidur, bangun-bangun sudah ada di ruangan asing. Tangan kiriku terpasang infus.

Beberapa saat baru terasa agak perih panas dan sedikit keram menguasai sekitar perut dan tulang belakang, aku kesulitan bergerak.

Kutolehkan kepala, tidak ada orang selain anak remaja lelaki, berkopiah putih duduk di kursi sana, sepertinya sedang membaca mushaf kecil, tapi suaranya nyaris tak terdengar.

"Si ... Siapa ...?" Suaraku lemah tapi sanggup membuatnya menoleh.

"Mbak sudah bangun." Dia mengakhiri bacaan dan mencium mushaf itu lalu pamit keluar, katanya akan memanggil Mas Byakta.

Mungkin dia salah satu anak pekerja rumah Pak Basri.

Mas Byakta masuk dengan layar ponsel masih menyala. Bisa kutangkap wajahnya tegang.

"Sudah dulu, ya, Pak, Ros sudah bangun," lirihnya. Ponsel itu dia saku kan ke celana, sambil mendekati ranjangku.

"Bagaimana, Ros, apa ada yang sakit?"

"Nggak, Mas. Cuma pinggang sama perut terasa pedas perih gitu ... apa aku tadi pendarahan ya? Bayiku gimana?"

Raut wajah Mas Byakta semakin kaku, meski tersenyum tampak sekali sulit baginya menutup gundah.

"Kamu yang tegar, Ros. Apa yang terjadi dalam hidup kita sudah diatur-Nya. Demi keselamatan kamu sudah dilakukan tindakan tadi."

Bola mataku panas. Artinya aku kehilangan bayiku ...?

Mungkin Allah nggak mau dia menderita karena perpisahan orang tuanya ini ... Allah sudah mengatur yang terbaik untuk anakku.

Kupegang perut menarik napas panjang-panjang mengikhlaskan, walau air mata terus mengalir.

"Kalau benar dia udah nggak ada nggak apa, Mas ... bayiku pasti lebih bahagia sama Allah. Kasian dia di sini ... mamanya ini banyak masalah."

"Ssst! Jangan bicara begitu. Ikhlaskan hatimu. Doa minta terus dikuatkan." Mas Byakta menyentuh pucuk jilbabku.

Teleponnya berbunyi lagi.

"Sebentar ya, Ros, aku terima dulu." Pria itu keluar. Sepertinya dia sedang sibuk walaupun ini jam sudah menunjuk angka 10 malam.

Menantu yang Dihina (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang