Bab 12

3.2K 164 0
                                    

PoV Nagito

Apa yang terjadi sebenarnya?

Aku tak habis pikir Mak terus menolak keras berikan nomor Ros. Belum lagi tuntutan yang mengharuskan aku menceraikan Ros segera.

Sebegitu parahkah sikap Ros selama kutinggal?

Terus-menerus kupikir semua itu sambil berdecak, namun buntu menghalangi hingga batas akhir aku tetap tak bisa menebak-nebak.

"Ros pergi dari rumah! Barang-barangnya dibawa semua. Mak ndak mau pusing lagi, To, kamu secepatnya ceraikan Ros!"

"Bagaimana Gito bisa ceraikan Ros kalau nomornya saja Mak nggak kasih? Aku perlu bicara dengannya."

Mak terdiam sesaat, mungkin berpikir cari alasan.

"Iya sudah. Kamu cukup diam saja di situ. Biarkan dia pergi semaunya. Kalau perlu Mak yang wakilkan kamu urus perceraian kalian."

Percakapan terakhir dengan Mak itu membuatku enggan telepon lagi ke sana sampai dua hari. Sengaja. Namun Mbak Nana akhirnya telepon ke sini, bilang Ibuk mertua menyerang mereka ke rumah, membuat keributan.

"Apalagi masalahnya kalau bukan karena Ros pergi. Ibuknya itu nyalahin kita, To."

"Trus ibuknya Ros di mana sekarang, Mbak?"

"Sudah pulang habis ribut-ribut. Bikin malu aja. Kata orang-orang Ros pergi sama laki-laki, To. Pasti bener itu bapak dari anak di perutnya itu. Dia malu sendiri tinggal di rumah kita."

"Mbak! Tolong ya, aku di sini sudah pusing harus belajar adaptasi dengan kerjaan baru. Kalau banyak keluhan gini aku makin nggak konsentrasi!"

"Iya ya mbak cuma bilangin, biar kamu tau kelakuan Ros itu gimana."

Ck! Kurang aj*r sekali Ros ini. Sama sekali tidak menghargaiku. Awas saja dia!

.

Hari ini, aku ada janji temu dengan klien, kesempatan kedua sejak yang kemarin belum ada kabar kelanjutannya.

Aku harus fokus dengan urusan pekerjaan saja! Urusan mereka di Genuk cuma bisa membuatku pusing.

Dari kosan 4 pintu milik Pardi ini aku naik ojek ke kantor, tak sampai 10 menit sudah sampai.

Hahh, utang pada teman sekampung itu kian bertambah, sebab untuk biaya hidup di sini aku juga butuh pegangan uang transport dan buat makan. Untunglah Pardi masih percaya.

Tidak apa, sakit-sakit dulu baru senang kemudian. Kesuksesan Indah meloloskan satu penjualan kemarin membuatku makin bersemangat tak mau kalah darinya.

.

Pertemuan tadi lancar dan klien tampak puas dengan terjawab jelas berbagai pertanyaannya tadi. Aku cukup percaya diri kali ini dapat komisi. Lelaki berambut putih merata tadi janji akan memberi kabar secepatnya, tampak memang dia sedang butuh tempat cepat untuk istri mudanya.

Menjelang jam makan siang Indah masuk ke ruang kerjaku, menyapa beberapa teman lain serangan, sebelum mendekati mejaku. Semua tahu kami sekampung, dan berteman dekat.

"Gimana tadi, masih nervous nggak, Mas Gi?" tanyanya.

Aku berdiri, merapikan kertas file di meja. "Lumayan, Ndah. Gugup di awal, tapi selanjutnya lancar. Kebetulan orangnya nggak secerewet sebelumnya."

"Bagus dong, semoga segera dapat kabar baik kamu, Mas."

"Amin, Ndah. Itu harapanku, mau nyicipi komisi kayak kamu."

Bagai dipandu kami berdua melangkah bersama keluar kantor.

"Kita ke Kayu Manis, yuk, aku traktir," tawarnya.

Menantu yang Dihina (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang