Bab 19

4.6K 185 1
                                    

“Mas sebenarnya tau nggak sih rencana Bapak begini?” tanyaku setelah selesai akad mendadak itu. Warga sudah makan-makan juga pulang bawa bingkisan sekotak makanan matang, dan sepuluh kilogram beras per orang. Buat yang sakit dan susah bawa, didata pekerja Pak Basri untuk langsung diantarkan ke rumah mereka. 

“Serius nggak tau, Dek, Bapak pagi tadi cuma bilang jatuh, trus minta ajak kamu ke sini.” 

“Ho’o po? Tapi kok nggak ada penolakan dari Kangmas?” Aku sedikit menggodanya yang jadi memanggilku Dek, pernah juga tadi dia keceplosan menyebutku Adek Manis.

“Ya nggak apa. Resiko rahasia mas sudah dipegang Bapak, ya gitu. Bapak seneng bikin kejutan.”

"Mas nggak keberatan?"

"Kenapa keberatan? Ini justru kebeneran. Bapak cukup membantu selesaikan masalah hati mas."

“Ohh. Mm, kalo boleh tau, sejak kapan Mas suka aku?” Aku memandangnya sambil berkedip-kedip. Usai orang-orang bubar tadi, kami berdua ambil duduk di ruang keluarga, semacam ruang privat santai, baca, dan khusus untuk keluarga inti lah sepertinya, jadi tidak ada orang lalu lalang di sini.

Dia menyentuh jilbab putih yang masih kupakai. “Dari … kamu kasih aku tiwul dulu, Dek.” 

Keningku mengkerut, melirik atas, pada plafon berukir cat emas sambil mengingat-ingat. Aku menggeleng. Lupa. “Kapan itu, Mas?” 

“Waktu kamu kelas 4 SD, masih pake seragam sekolah duduk di lantai dapur, lagi makan, trus aku datang ngos-ngosan lari manggil ibukmu?"

"Mas itu ... yang? Ohh, aku ingat Mas yang datang karena Mas Arif berantem?" tebakku.

"Iyo, iku, Dek!" Mas Byakta bersemangat. "Awalnya kamu kaget, to? Trus nanya, ‘Mas Arif kelahi karo sopo?’ aku jawab, ‘karo Jono’ kamunya malah menanggapi santai-"

"Aku lanjutin makan itu ya?" Senyumku tertarik mengingat kejadian itu.

"Bener. Sambil makan kamu bilang, ‘Biarin aja Mas Arif kasih pelajaran tuh mulutnya Jono. Dia jahat!' lalu kamu tanya aku siapa."

"Waktu itu Mas bilang temennya Mas Arif, terus langsung aku tawarin Mas makan tiwul pake kelapa parut bikinan Ibuk," sambungku pada ceritanya.

"Nah, di situ, Dek, menariknya. Mas untuk pertama kalinya makan tiwul yang terasa enaaak banget. Sampai sekarang pun, setiap ada kata tiwul aku pasti senyum ingat kamu. Ingat kita berdua makan bareng duduk di lantai.” 

Senyum Mas Byakta benar-benar tulus, dia cerita itu sambil tak lepas menatapku.

“Ya ampun, Mas … kok iso, yo, cuman gara-gara makan tiwul bareng?” Tak bisa ditahan lagi senyumku terulas lebar. 

Bagiku itu hal biasa, sudah kebiasaan tawari siapa saja teman yang datang saat aku lagi makan, kok Mas Byakta menganggapnya berlebihan ya?

"Itulah rahasia jodoh, Dek. Walaupun kamu pernah mas kira nggak tergapai, akhirnya sekarang kita dipertemukan takdir. Bisa hidup bersama. MasyaAllah," lanjutnya seolah bisa menebak apa yang kupikirkan. 

“Kebetulan memang saat itu mas laper, Dek. Ibu mulai mudah sakit, Bapak kerja dari hari belum terang sampai hari mau gelap baru pulang. Nyari nafkah yang katanya lagi sulit. Berkat tiwul enak pemberianmu itu mas kenyang sampai Bapak datang sorenya."

“Duhh ... kok, ya aku malah mau nangis ini dengernya, Mas ....” Ku usap sudut mata yang basah. 

Mas Byakta mengusap lembut pucuk kerudungku. “Dulu keluarga mas juga susah, sangat susah dari kamu mungkin. Masa-masa paceklik saat itu nggak akan dilupa sampai kapanpun.” 

Menantu yang Dihina (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang