"Mbak Ros, wes tau ora? Ono gosip panas tentang mbak Ros di sini?" Titi menelepon saat aku lagi memilih outer di lemari. Hari ini rencana mau pergi belanja ajak Mbok Sri.
"Gosip apa, Ti? Lah kamu ini lagi nggak sekolah po? Kok iso telepon mbak?"
"Hehee, aku izin sakit, Mbak."
Ealah, pantes. Ini masih jam sekolah, Hanif saja kemarin baru sampai rumah jam 2. Anak yang Mbok Sri dan suami dapat setelah menikah 16 tahun itu sekolah di salah satu MTSN di Mijen ini, dia pergi naik sepeda, sepeda bawaannya dari rumah lama. Nanti aku harus ingat belikan sepeda baru untuknya. Kemarin lihat sebagian tulang sepedanya sudah karatan.
"Iku lho, Mbak. Gosip Mbak Ros kabur sama cowok. Gosipe ruame, Mbak. Mak sebelah tuh sampe nggak ada capeknya nyebarin ke semua orang. Sedesa kita sampek Trimulyo kayake semua pada tau."
"Ho'oh po?"
"Iyo, Mbak Ros. Di mana Mak Tarseh ada di situlah dia nyeritain menantunya selingkuh."
Titi penuh semangat bilang wanita itu punya banyak foto kebersamaanku dengan Mas Byakta di handphone Mbak Nana.
Ya lah, siapa lagi pelaku pelemparan kemarin kalau bukan orang suruhan atau malah satu dari keluarga bar bar itu.
"Nama Mbak Ros jadi rusak. Dibilang macam-macam gitu lah, sampe bisa dapet rumah bagus dari hasil jual badan. Bela diri dong Mbak. Itu nggak bener kan?"
Aku tersenyum samar. Mematut baju yang barusan kukenakan. Ponsel ku taruh di meja dengan suara di-speaker, jadi aku bisa ngobrol sambil siap-siap. "Biarin aja lah, Ti. Nggak guna juga jelaskan sama orang yang ngerasa benar. Nggak bakal dipercaya."
"Duhh, kalo gitu orang kirain beneran nanti, Mbak Ros. Padahal aku tau mbak Ros nggak mungkin gitu."
"Kalo kamu percaya, Mbak, Alhamdulillah."
"Iya ... tapi aku mau nanya boleh kan, Mbak? Itu ... beneran Mbak dibeliin rumah di Mijen sama si ganteng. Rumah bagus di kompleks perumahan yang harganya di atas tiga ratusan juta gitu katanya, aku penasaran Mbak ...."
Aku tertawa geli. "Ti, istighfar, kamu kayaknya ketular jadi tukang gosip deh," candaku pada bocah SMA itu.
"Yaa, embaak, aku kan ikut penasaran. Kalo iya buat aku sih gak apa, Mbak Ros. Kan dapet yang lebih baik, lebih ganteng, lebih gagah. Ughh ... ngebayangin dipeluk orang kayak mas berjambang itu nyaman deh, Mbak, hee."
"Astaghfirullah, Ti, Ti. Ingat masih kecil, masih sekolah. Ntar kubilangin Mamamu lho."
"Hehee, canda, kok, Mbak Ros. Tapi beneran nggak, Mbak?"
Yah, dia masih penasaran.
"Udah dulu, ya, Ti, Mbak mau keluar."
"Yaaa, aku bisa meriang saking penasarannya, Mbaaak."
Aku menggeleng kepala tetap mengakhiri panggilan setelah ucap salam. Ada-ada saja.
.
Selain sepeda, tadi aku dan Mbok beli kulkas, mesin cuci, kompor gas, dispenser, beberapa panci, wajan, sampai perkakas kecil-kecil tapi penting ri dapur. Belanjanya cuma di satu toko, barang-barang itu nanti akan diantar gratis ke rumah sebagai bagian pelayanan mereka. Kenapa belanja sebanyak itu? Ya, karena memang rumah baru ku masih amat kosong.
Kemarin sementara pakai gas, kompor dan beberapa alat dapur milik Mas Byakta, yang katanya di kantor dia barang itu nggak terpakai.
"Baru terasa gini namanya hidup baru. Mulai beli isi rumah dari nol. TV, nih yang belum, biar belakangan aja, ya, Mbok? Nunggu Ros sudah kerja," ujarku setelah beberapa lama kami sampai di rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menantu yang Dihina (END)
General FictionKisah hidup Ros, si menantu yang dihina dan dijadikan seperti pembantu.