Sejak kejadian di taman belakang sekolah, Vani tidak pernah mau lagi menemui Alex. Dia tahu bahwa itu berlebihan, namun perasaan itu ingin dia tekan, ia tidak mau mempunyai hubungan apapun dengan laki-laki itu.
Hari kemarin dia menanyakan perihal pelaku teror kertas beberapa minggu lalu kepada Pak Haris, dan Guru BK itu bilang hari ini dia akan diberitahu pelakunya.
Tepat setelah bel pertama istirahat, dia segera menuju ruang BK yang posisinya berada di lantai dua sekolah. Beberapa hari dia tidak datang ke perpustakaan, dia hanya berdiam diri di kelas. Dan seperti pertama kalinya ke luar, hal itu membuat dirinya sedikit gugup, entah kenapa.
Sampai di ruang BK dia segera duduk di kursi depan meja Pak Haris, kursi yang biasanya digunakan para siswa bermasalah saat diceramahi.
"Sudah lama menunggu?" Pak Haris baru saja keluar dari ruang pribadinya, dia sedikit tersenyum saat menoleh ke arah Vani.
"Tidak Pak, hanya sebentar!" jawab Vani, dengan perasaan yang tidak tentu.
"Bagaimana kabar ibumu?" tanya Pak Haris tiba-tiba tepat setelah ia duduk di kursinya. Pria itu tahu kalau Vani sedang mempunyai masalah ekonomi.
Vani menghela nafas. "Ibuku sehat, dia bekerja setiap hari," jawab Vani, sopan.
"Bagus, kamu mesti semangat seperti ini. Itu membuat ibumu bangga!" Pak Haris masih berbasa-basi dengan gadis itu. Lalu tangannya menyentuh berkas yang tersimpan rapi di atas mejanya.
"Bagaimana dengan laporan saya?" Vani lantas menanyakan yang menjadi tujuannya, membuat gerakan tangan Pak Haris berhenti sebentar, seperti menimbang sesuatu.
Pak Haris menyerahkan berkas yang ia angkat pada Vani. "Ini adalah berkas yang kamu inginkan! Bukalah!" perintahnya dengan nada sopan, penuh wibawa.
Vani menerima berkas itu kemudian menemukan beberapa lembar foto di dalamnya. Dia bisa melihat bahwa foto itu berisi seorang pria yang tengah memasukkan kertas ke dalam loker miliknya. "Siapa namanya?" tanya Vani, merasa asing dengan laki-laki itu.
"Namanya Andre dari kelas 12-F.!"
Mendengar jawaban Pak Haris, gadis osis itu mengangkat pandangannya merasa tidak mengerti. Vani tidak tahu laki-laki itu, namun pertanyaan baru muncul di benaknya. Tentang kenapa ada orang yang diam-diam membencinya. Apa kesalahan yang dirinya perbuat pada laki-laki itu.
"Saya merasa tidak mengenal orang itu, tapi kenapa dia melakukan ini?" Vani mengernyitkan dahi.
"Saya belum tahu alasannya apa. Tapi yang pasti dia adalah orang yang memasukkan kertas-kertas itu ke dalam lokermu!" jawab jujur Guru BK.
"Bolehkah saya menemuinya? menemui orang itu di ruang osis bagian keamanan?" tanya Vani, takut-takut.
"Tentu saja. Tanyakan apa yang ingin kamu tanyakan, dan jika ada apa-apa kamu boleh memberitahu saya!"
"Baik Pak, terima kasih!"
Vani kemudian meninggalkan ruangan itu, di sepanjang jalan menuju kelasnya dia sama sekali tidak memahami tentang seseorang yang berani berbuat seperti itu padanya.
"Apa kesalahanku padanya? Kenapa dia berbuat buruk padaku?" tanpa sadar air mata gadis itu bergumul di pelupuk matanya, tidak tahan dengan beberapa masalah yang akhir-akhir ini dia hadapi. Kemudian Vani berhenti sejenak di depan ruang kelas lantai dua. Dia menatap ke arah bawah gedung, tepatnya bagian lapangan tempat siswa laki-laki banyak yang bermain futsal.
"Vani?" sapa seseorang, dia menepuk pundak gadis itu. Vani yang sadar air matanya terjatuh, segera menghapusnya menggunakan punggung tangan yang masih memegangi berkas. Suara itu tidak asing untuknya. "Sedang apa di sini?"
Vani menoleh, dan dia bisa menatap jelas pandangan kekhawatiran Alex untuknya. "Aku habis dari ruang BK! Permisi aku mau ke bawah!" Vani buru-buru melangkahkan kakinya karena tidak mau berurusan lagi dengan laki-laki itu.
"Ada apa?" teriak Alex mengimbangi langkah cepat kaki Vani. Namun gadis itu malah meneruskan langkahnya tidak berniat untuk berhenti apalagi menjawab pertanyaan Alex.
"Tunggu!" Alex menyusul Vani kemudian menangkap tangan gadis itu. "Ada apa denganmu? Kenapa beberapa hari ini kau seolah menghindariku?" tanya Alex, masih dengan menggenggam tangan Vani yang gemetar.
"Aku tidak apa-apa!" jawab Vani, masih memfokuskan pandangan ke depan. Namun isak tangis gadis itu sampai pada telinga Alex.
"Berhentilah menjauhiku dan jangan lagi menyembunyikan perasaanmu. Aku mohon!"
Mendengar itu Vani merasa dirinya memang egois, dia yang merasa senang karena bisa dekat dengan Alex dan selalu bertemu dengannya di perpustakaan setiap hari, tapi kemudian dia juga lah yang memutuskan kedekatan mereka berdua dengan cara menjauhi laki-laki itu. Dia semakin merasa bersalah saat Alex masih mengkhawatirkan dirinya.
Pelan-pelan Vani berbalik, menghadap ke arah Alex yang masih memegang sebelah tangannya. Vani menangis kemudian menutup wajahnya dengan tangan sebelah kiri.
"Ada apa?" tanya Alex, merendahkan nada suaranya. Dia bisa melihat air mata gadis itu berjatuhan. Dia tidak menyangka akan melihat gadis itu menangis secepat ini. Gadis yang dikenalnya selalu menggunakan fikirannya untuk bertindak, kini menumpahkan perasaan sedih pada dirinya.
* * *
"Maaf, karena beberapa hari ini aku berusaha menghindarimu!" Vani mengusap sisa air matanya. Dia duduk di kursi depan Alex, di ruang keamanan dan dirinya bisa melihat kerutan di dahi Alex.
"Itu bisa kita bahas nanti. Sebenarnya apa yang terjadi padamu? Kenapa tiba-tiba menangis di depanku?" Alex manatap mata Vani, penuh arti.
"Aku hanya merasa beberapa minggu ini dipenuhi dengan masalah yang di luar kendaliku. Aku ingin menyelesaikannya satu per satu, hanya saja sebelum masalah pertama dan kedua selesai, masalah selanjutnya malah datang!" Vani menarik nafas berat, dia benar-benar merasa sangat lelah. Tugasnya sebagai ketua keamanan osis terasa semakin berat dengan dirinya dijadikan musuh anak-anak berandal di sekolah. Teror kertas masih berlanjut hingga sekarang, ban motor yang selalu kempis tiap dia akan pulang, sikap sebagian anak-anak osis yang tidak menyukainya, dan masalah lain seperti ekonomi keluarganya yang memburuk.
"Vani!" panggil Alex, pelan. "Apa itu sebabnya kamu mengindariku beberapa hari ini?"
"I-itu hal lain, yang sulit kujelaskan! Maaf!" Vani ingin sekali mengatakan kalau sebabnya adalah karena dia mulai menyukai laki-laki itu. Dia tahu dengan penuh kesadaran, dia menyukainya, dia ingin selalu berada di dekatnya, dia menyukai setiap perhatiannya, dia menyukai cara dia memperlakukannya. Dan mengingat itu, Vani merasa semakin bersalah karena menyadari dirinya bukan orang baik yang pantas mendapatkan itu.
"Mulai saat ini, berjanjilah untuk tidak menjauhiku lagi! Aku bukan orang jahat yang akan melukaimu! lagi." Alex merasa bersalah mendengar pengakuan gadis itu. Dia merasa dirinya terlalu brengsek menghukumnya. Dia tidak tahan ketika air mata gadis itu berjatuhan. Namun konsekuensi dari apa yang dia ucapkan di akhir kalimatnya adalah pergi menjauh dari gadis itu mulai sekarang.
Alex tidak sejahat itu untuk melukai seorang gadis, dia yakin harus berhenti bersikap pura-pura padanya.
Lagi pula mendekati gadis itu dan melukai perasaannya bukan tujuan utamanya, yang dia inginkan hanyalah kehancuran sekolah dan menghukum siapa saja yang telah melukai orang yang paling dia sayangi di dunia ini. Dan orang itu adalah ibunya.
Itu adalah cerita lain yang laki-laki itu simpan baik-baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hate Me Ok
Teen Fiction"Aku adalah seorang pendusta, jika aku mengatakan iya artinya adalah tidak dan jika aku mengatakan tidak artinya adalah iya. Aku adalah seseorang yang terlahir dengan tindakan pengecut, rasanya aku tidak berani melakukan apapun. Aku takut saat berad...