Hari ini Vani dan Aime kembali melakukan persiapan pensi di ruang keamanan. Vani melihat keadaan di luar ruangan yang tidak seperti kemarin. Hari ini suasananya sangat teduh dan berawan.
"Van, kemarin saat gue ke TKP buat melerai, gue ngeliat si Manda lagi nangis. Cewek itu kelihatan rapuh banget. Dia nangis sambil nunduk." Aime kembali berceloteh, tapi sayangnya Vani tidak tertarik.
"Aku tidak tertarik dengan itu! kenapa banyak siswa yang melakukan itu di lingkungan sekolah. Aku penasaran, apa yang mereka pikirkan sehingga melakukannya, aku ingin tahu alasan mereka. Apakah mereka pernah memikirkan tentang masa depan?" Vani masih memandangi langit melalui jendela, merasa ironi dengan keadaan.
"Justru menurut gue itu bukan hal aneh di usia kita sekarang. Semua hal ingin dicoba, banyak hal yang jadi pertanyaan dan juga bikin penasaran. seperti hubungan percintaan dan haus perhatian. Lo seharusnya bisa menikmati masa-masa ini. Mikirin masa depan itu harus, tapi hidup di masa ini juga perlu. Sebentar lagi kita akan lulus, dan hanya dalam hitungan bulan masa SMA ini akan berakhir jadi kenangan. Nikmatilah selagi bisa!" Aime menyentuh pundak ketuanya itu kemudian melanjutkan kalimatnya. "Nggak biasanya gue buat kata-kata bijak. Kayaknya suasana gini hati gue jadi melow." Aime mengakhiri ucapannya dengan candaan, dia tidak tahu saat ini Vani sedang bimbang.
"Kamu bisa saja!" Vani tersenyum dan memegang tangan Aime yang masih di bahunya, "tapi masa depan itu penting untuk dipikirkan, pepatah lama mengatakan bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Sekarang ini waktunya belajar dan kita akan mulai menentukan kehidupan kita setelah lulus. Soal pendapatmu tentang yang waktu itu, tentang aku yang terlalu obsesif, sebetulnya aku punya alasan sendiri. Aku ingin mendapatkan beasiswa untuk masuk ke salah-satu universitas di Jepang. Kalau mengandalkan orang tua, aku tidak yakin akan bisa mewujudkan itu. Tapi dengan belajar, kemungkinan itu ada dan harus kuraih." Setelah mengatakan itu Vani terdiam, sebetulnya dia tidak ingin mengatakan ini pada Aime. Tetapi ucapan perempuan yang menghakiminya tentang sikap obsesif sedikit menyinggungnya.
"Aku percaya kamu bisa!" tutur Aime, penuh keyakinan.
"Terimakasih sudah menyemangati!" Vani kemudian melanjutkan menulis laporan.
"Sial, gue jadi melow gini gara-gara lo!" Aime melotot, kesal. "Lo kok nggak cerita kalau di 12-A ada siswa baru?" Aime kemudian mengalihkan topik pembicaraan.
"Apa hubungannya?"
"Ya iyalah ada hubungannya. Lo kan tau gue nggak punya pacar selama ini, terus di ujung perpisahan setidaknya gue udah ngerasain yang namanya pacaran."
"Tapi dia kan yang buat masalah kemarin!" timpal Vani.
"Tapi tampan, itu bisa bikin dosanya dihapus. Good looking Van, lo ngerti kan?"
"Kamu harus pergi ke psikolog. Otak kamu kayaknya miring!"
"Apa?" Aime memelototi Vani yang tertawa kecil.
"Aku yakin pendengaran kamu masih bagus!" dengan santai Vani mengatakan itu sambil mengetik sesuatu di laptopnya.
"Vanii, tolong kenalin gue ke dia dong!"
"Nggak ah!"
"Vaaan?" Aime mengeluarkan nada memelas.
"Nggak!" tegas Vani.
"Pliiss!" Aime memohon, dia memang mengagumi cowok itu sejak kemarin, tapi ini baru tertarik bukan jatuh cinta.
Vani hanya bisa menghela nafas kemudian, "baiklah aku akan mengajak kamu ke kelas A, biasanya dia jarang keluar!"
"Aaaaaakh, makasih banyaak.. kamu emang yang terbaik!" Aime memeluk Vani saking senangnya.
"Sudah ah, hentikan!" perintah Vani berusaha melepaskan diri sekaligus tertawa melihat tingkah temannya yang aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hate Me Ok
Ficção Adolescente"Aku adalah seorang pendusta, jika aku mengatakan iya artinya adalah tidak dan jika aku mengatakan tidak artinya adalah iya. Aku adalah seseorang yang terlahir dengan tindakan pengecut, rasanya aku tidak berani melakukan apapun. Aku takut saat berad...