Rasa bersalah

4.4K 175 4
                                    

"Yesss gue menang!" Elvano bersorak bahagia ketika berhasil mengalahkan lawannya bermain kartu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Yesss gue menang!" Elvano bersorak bahagia ketika berhasil mengalahkan lawannya bermain kartu.

"Wih, akhirnya kita bisa party-party malam ini." Dion bersahut dan menepuk pundak Elvano.

"Serahin semua duit lo!" Elvano menoyodorkan tangannya meminta uang pada lawan mainnya karena ia telah memenangkan permainan kartu itu.

Pria itu dengan wajah kesalnya memberikan semua uang yang ada di sakunya pada Elvano. "Thanks bro, lain kali kita main lagi." Setelah menerima uang itu, Elvano pun menepuk pundak pria tak beruntung itu dan meninggalkan tempat ini.

"Boss ayo kita ke Bar, kita party-party malam ini." Dion menarik tangan Elvano, tapi pria itu langsung menepis tangannya. "Sabar anjing," umpat Elvano kesal.

"Angkasa mana?" Elvano bertanya karena sedari tadi ia tidak melihat sahabatnya itu.

"Lagi di rumahnya, tadi dia nelpon gue katanya nyokapnya lagi sakit," sahut Felix.

Elvano hanya menganggukan kepalanya paham. "Gak seru kalau cuma kita berempat, party-nya besok aja kalau Angkasa udah gabung kita lagi," ucap Elvano yang seketika membuat Dion cemberut.

"Yaelah El, ngapain sih cuma gara-gara si langit itu, kita nggak jadi party," kesal Dion, pasalnya dia sangat menanti-nantikan hal ini, sudah lama sekali mereka tidak mengunjungi tempat itu.

Elvano mengetuk jidat Dion dengan pelan. "Lo nggak setia kawan banget jadi orang. Angkasa nggak kesini karna nyokapnya sakit goblok!" umpatnya pada Dion.

Pria yang menjadi korban tersebut hanya bisa meringis sambil mengelus jidatnya. "Aduh, meni sakit pisan euy."

"Makanya jangan tengil jadi orang," kini Bara ikut memaki Dion.

"Udah-udah, kalian berisik!" sahut Felix yang sudah emosi melihat mereka selalu saja berdebat.

Akhirnya mereka memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing, karena sudah hampir larut malam.

Setelah Elvano tiba di rumahnya, ia melihat ke ruang tamu yang di sana terdapat kedua orangtuanya dan kakaknya sedang bercanda-ria. Elmira menyadari putra bungsunya itu telah pulang langsung memanggilnya untuk bergabung dengan mereka, "El sini Nak," panggil Elmira.

Karena ibunya yang memanggil, Elvano langsung menuju mereka.

"Sudah makan?" tanya Elmira.

"Udah," jawab pria itu singkat. Elvano merebahkan dirinya di sofa dan langsung meletakkan kepalanya di paha sang ibu, Elmira pun langsung mengelus kepala putranya itu dengan lembut.

"Ck, sudah besar masih manja," sindir Giordano tanpa melihat ke arah mereka.

"Papa kenapa sih? Aku emang nggak bisa kayak Al, menurut Papa aku cuma anak nakal yang selalu bikin Papa malu. Tapi, apa aku nggak bisa manja sama Mama aku sendiri?"

Mendengar sang putra berbicara seperti itu sontak Giordano menatap tajam ke arah Elvano, "Sudah berani melawan Papa, kamu!" bentak Giordano pada Elvano.

"Pah udah," ucap Elmira menenangkan suaminya.

Elvano beranjak dari sofa lalu menatap tajam Alvaro yang sedang duduk diam di sofa lain, "Puas Lo udah buat gue kayak gini? Selamat sudah menjadi anak kebanggaan di rumah ini, sedangkan gue cuma anak yang nggak di anggap!"

Alvaro menatap kepergian sang adik, ada rasa bersalah di hatinya walaupun dirinya tidak melakukan apa-apa, hanya saja karena dirinya yang menjadi dokter, yang menyebabkan adiknya selalu di bandingkan dengannya.

"Pa, Al mohon, berhenti ngomong gitu sama El, kasian dia." Alvaro memohon pada sang ayah dengan wajah sendunya.

"Anak itu tidak akan bisa berubah jika kalian terus membiarkan dia melakukan apapun yang dia inginkan," ujar Giordano kesal.

"Saya nggak pernah benci anak saya sendiri, saya cuma mau dia berubah. Kalau tidak bisa seperti Al, setidaknya dia berhenti jadi anak motor, dan coba kalian lihat dia, tubuhnya di penuhi gambar yang tak jelas. Semakin hari anak itu semakin tidak waras!" Giordano memijat pelipisnya pelan dan menyandarkan dirinya.

~~~

Suara alarm mampu mengusik seorang gadis yang masih setia menutup tubuhnya dengan selimut tebalnya. Viona merenggangkan ototnya lalu membuka matanya perlahan, ia melirik jam di dinding yang sudah menunjukan pukul 06.00 pagi. Ia segera ke kamar mandi untuk melakukan ritual paginya sebelum berangkat ke sekolah.

20 menit berlalu, Viona sudah selesai dan langsung memakai seragamnya, hari ini adalah hari kedua ia sekolah di SMA Bhinabakti.

Setelah selesai, Viona turun ke bawah untuk sarapan pagi. Mungkin ini adalah sarapan terakhirnya bersama kedua orang tuanya sebelum mereka bercerai.

Viona melihat orang tuanya sedang duduk saling berjauhan, Viona pun berjalan menuju mereka tanpa menyapa.

"Pagi sayang, sini ikut sarapan," ucap Marcello memanggil sang putri agar ikut bergabung bersama mereka.

Viona pun menurut lalu duduk di samping ayahnya, sejauh ini Viona sangat dengan ayahnya dibandingkan ibunya, dia pernah membenci Sarah yang selalu sibuk dengan urusannya hingga tak memperdulikan anak-anaknya.

"Hari ini Papa sama Mama mau urus masalah perceraian, kamu nggak papa kan sayang kalau sendiri dulu di rumah sepulang sekolah?" tanya Marcel. Viona pun hanya mengangguk lesu lalu menikmati sarapannya

"Walaupun Mama sama Papa bercerai, itu tidak mengurangi kasih sayang kami sebagai orang tua pada kalian Nak," sahut Sarah tersenyum.

"Emang nggak bisa tunggu sampai Kak Lucas sadar dulu? Gimana kalau nanti Kak Lucas sadar dan syok lagi mendengar tentang kalian?"

“Kami sudah tidak cocok Nak, mau di paksa pun juga tidak mungkin. Mama harap kalian mengerti ya sayang.” Sarah berusaha membuat Viona mengerti tentang hubungan mereka sambil mengelus tangan sang putri dengan lembut.


~~~

MOIRAI [Open PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang