Episode 2

41 29 95
                                    

"Audey, bangun!!! Sudah jam berapa ini, nanti kamu telat!!"

Aku terbangun setelah mendengar alarm alami dari mama. Aku langsung duduk dan mengambil kacamataku yang tergeletak di nakas. Meregangkan badan sebentar, lantas menatap jam dinding.

"Oh, ya ampun. Mama..."

Jam masih menunjukkan pukul setengah enam pagi. Sedangkan aku masuk sekolah pukul setengah delapan. Jauh dari kata telat jika aku masih tertidur setengah jam lagi.

Begitulah mama. Ia punya cara tersendiri untuk membuatku terbangun dari tidur. Mama bilang, "Kamu kalau tidur kayak orang mati. Digoyang-goyangin pun engga bakal bangun. Jadinya mama bangunin aja pagi-pagi sekali."

Karena sudah terlanjur bangun—meski masih terlalu pagi, mau tak mau aku bangkit menuju kamar mandi.

Lima belas menit berlalu. Aku selesai membersihkan tubuhku. Butuh waktu yang lama untukku mengumpulkan niat untuk mandi meski aku sudah berada di dalam kamar mandi. Terkadang, aku hanya menghidupkan shower, tetapi ku arah kan ke tempat lain. Bukan ke tubuhku. Lalu aku tadahkan tanganku layaknya bermain hujan.

Lima menit aku sudah berpakaian rapi, lalu menuruni tangga menuju dapur untuk sarapan. Mama dan papa sudah berada di sana. Mama sibuk dengan kompor dan kuali, sedangkan papa sudah mantap duduk di kursi menghadap meja sambil memasang dasinya sendiri. Papa bukan tipe suami yang manja, yang semuanya dilakukan oleh istri untuk dirinya demi sebuah keromantisan. Menurutnya, romantis itu ada di dalam hati, bukan ditunjukkan. Sangat cocok dengan mama yang super-duper sibuk dengan pekerjaan rumahnya.

Tiada hari tanpa kesibukan bagi mama. Papa pernah bilang, "Mama kamu itu kalau tidak sibuk sehari saja, seperti ada yang kurang. Lalu, badannya sakit semua."

Aneh, kan? Tapi itulah mama. Tak nyaman jika hanya berdiam diri saja tanpa mengerjakan sesuatu.

"Selamat pagi, Sayang." Mama dan papa menyapa ketika aku sudah mendekat ke arah meja makan.

Aku melontarkan senyum manisku seraya menjawab sapaan mereka.

"Nih, mama udah siapin makanan kesukaan kamu. Omelet telur istimewa dengan tambahan sosis." Sebuah omelet sudah tertata rapi di piring yang mama suguhkan kepadaku. Sungguh, mama paling mengerti apa yang aku suka.

Aku tersenyum. "Makasih, Ma."

Mama membalas senyum. "Kalau papa, sandwich tanpa selada." Mama menyodorkan piring berisi sandwich, lalu duduk di samping papa.

"Kalau mama..." Mama mengambil piring dan sendok.

"Pasti brokoli rebus," ucapku menyela.

"Benar sekali!" Mama tersenyum, lantas tertawa kecil.

Beberapa hari ini, mama lebih sering makan sayur-sayuran. Program diet katanya.

Meja makan dihiasi dengan perbincangan kami satu sama lain. Seperti biasanya. Kehangatan selalu menyelimuti kami di sarapan pagi. Selalu ada saja topik pembicaraan yang jadi perbincangan di antara kami.

"Audey." Papa memanggilku dengan suara khas. Dia masih fokus ke sandwichnya itu.

Aku mendongak seraya mengangkat kedua alisku, menunggu papa melanjutkan perkataannya. "Tahu, tidak? Dulu, waktu papa masih muda, papa sering banget mikirin hal yang di luar nalar. Paling sering pas waktu sarapan begini."

Aku mengernyitkan dahi. Tak paham. "Hal yang di luar nalar bagaimana?" tanyaku.

"Ya, macam-macam. Selalu berpikir, 'Apakah ada sekolah sihir seperti Hogwarts?' atau 'Apakah ada kehidupan di planet lain seperti di film Guardians of The Galaxy?'. Papa selalu bertanya-tanya seperti itu dulu," ungkap papa.

Aku terdiam. Sebenarnya, aku juga berpikiran seperti itu. Bukan. Lebih tepatnya, aku ingin itu nyata. Entahlah, mungkin aku dan papa punya kesamaan soal pikiran khayalan ini.

"Papa kamu kebanyakan nonton film fantasi, jadi kebanyakan mengkhayal. Udah, cepat kamu siapkan makannya. Nanti telat," sergah mama memecahkan topik pagi ini. Mama bangkit dan langsung menuju ke arah wastafel.

Aku dan papa melirik ke arah mama. "Mama kamu selalu saja cerewet," bisik papa.

Aku terkekeh pelan sambil mengangkat kedua bahu. Sudah biasanya mama seperti itu.

"Tapi, Audey... " Papa memotong ucapannya, lalu melirik lagi ke arah mama. "Papa percaya, pasti ada kehidupan lain di luar sana."

Aku menatap papa. Diam.

***

Di sepanjang perjalanan, aku lebih banyak diam. Bagaimana tidak? Sepagi ini jalanan sudah dipenuhi oleh kenadaraan-kendaraan lain. Macet. Aku bosan, sesekali berdecak sebal.

"Sabar, Audey. Sebentar lagi kita sampai." Papa menenangkanku.

"Tahu, tidak? Dulu papa seumur kamu, kalau macet gini, papa malah bayangin papa bisa terbang. Melewati mobil-mobil di depan sana tanpa terhambat sedikit pun. Atau, papa ingin menghilang dan langsung muncul di tempat yang papa tuju."

Lagi-lagi papa membicarakan hal yang sama seperti di meja makan tadi, yaitu khayalan. Mungkin topik ini yang sudah papa persiapkan dari tadi malam. Bisa-bisa seharian full papa menceritakan hal ini sampai ia menemukan topik baru.

Papa tipe orang yang sangat suka bercerita tentang masalalunya. Kata "tahu, tidak?" biasanya memulai perbincangannya. Dilanjutkan dengan kalimat "dulu kecil" atau "dulu pas papa seumur kamu". Papa selalu menceritakan bagaimana ia dulu kecil. Mungkin papa menganggap semua waktu itu berharga dan akhirnya diturunkan kepadaku.

"Papa kenapa suka mengkhayal seperti itu?" Aku bertanya jengah sekaligus penasaran.

Papa mengangkat kedua bahunya. "Entahlah. Papa suka saja memikirkan hal seperti itu. Setidaknya universe seperti itu hidup di pikiran papa, ya, walaupun papa tahu itu semua cuma khayalan."

Aku terdiam sejenak. Mendengarkan perkataan papa. Begitu liar ternyata pikiran papa.

"Kalau kamu? Suka tidak memikirkan hal yang seperti papa pikirkan?" tanya papa kembali.

"Terkadang iya," jawabku singkat.

"Wow. Kamu memikirkan apa?"

Aku bergumam sebentar. "Audey suka mengkhayal kalau Audey bisa menjadi gadis pembawa pedang. Melawan kejahatan gelap, seperti di buku dongeng yang selalu mama ceritain ke Audey."

"Hm? Judul dongengnya apa?"

"Barsha. Papa tau, kan?" Aku memberitahu.

Papa langsung melihat ke arahku. Mataku dan papa saling berbalas tatap. Di balik sorot matanya tersirat sesuatu, tetapi aku tidak tahu apa. Setelah itu, papa mengalihkan kembali atensinya ke arah jalan.

"Tau. Papa tau." Papa menjawab.

"Nah, itu. Audey ingin jadi gadis yang menyelamatkan Barsha dari kegelapan. Terdengar aneh dan tidak masuk akal, sih, tapi Audey selalu saja berangan-angan bisa seperti itu," ucapku penuh senyum.

Papa terkekeh pelan. "Udah dulu mengkhayalnya. Kita sudah sampai."

Tak terasa kami sudah sampai di depan gerbang sekolah yang sudah ramai oleh para siswa. Entah sejak kapan kami menerobos macet tadi.

Aku segera keluar dari mobil dan langsung menyalam tangan papa dari kaca mobil. Pamitan.

"Belajar yang bagus, ya, Audey. Jangan nakal." Papa mengingatkan.

Aku mengangguk sembari tersenyum. Aku melangkahkan kakiku untuk masuk.

"Audey." Langkahku terhenti ketika papa memanggilku lagi.

Aku menoleh sambil mengangkat kedua alis.

"Kadang yang tak masuk akal, bisa saja tak seperti yang akal kita terima. Jika hal itu benar adanya, kita hanya cukup tau. Tidak lebih."

Setelah itu, mobil papa melaju meninggalkan gerbang sekolah. Aku menatap kepergian papa dengan banyaknya pertanyaan. Maksud papa apa? Aku tak tahu.

Aku mengabaikannya dan melangkah masukke halaman sekolah. Seperti biasa. Aku menyapa orang-orang yang kukenal, begitu pun sebaliknya. Tanpa kurasakan dan kupikirkan, akan ada sesuatu yang menungguku nanti.

Barsha: Audey AdventureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang