11

12 8 1
                                    

Semua anggota keluarga yang melihat itu memasang senyum menggoda untuk Zain. Apakah mereka benar-benar bisa menerima tanpa ada rasa dendam?. Sepertinya bisa, kita lihat nanti.

Syilla kembali dengan mengibaskan tangannya. Ia berjalan menuju televisi guna mengambil hand sanitizer yang berada di samping televisi. Tak ada satupun rasa jijik di mukanya.

Zain dan keluarganya melongo. Biasanya para gadis akan berteriak, jika melihat hewan kecil satu yang tadi. Tetapi Syilla tidak.

Syilla duduk kembali di samping Bunda. Menghiraukan tatapan geli dari anggota keluarga. Sedangkan Zain? Dia sekarang tengah menempel pada Umma. Ckckck di mana pak Zain yang di sekolah itu?.

Syilla berdiam diri seperti patung. Menunggu Bunda menyelesaikan omongannya bersama Umma dan Abah.

Syilla menarik pelan baju sang Bunda, mengisyaratkan bahwa ia ingin berbicara tanpa memotong pembicaraan orang tua. Bunda menoleh dan menautkan kedua alisnya bertanya-tanya.

Syilla membisikkan sesuatu pada sang Bunda. Yang sudah pasti berhubungan dengan makan. Ya! Syilla lapar, melihat drama kehidupannya ini tidaklah bisa membuatnya kenyang.

Bunda paham. Beliau menyuruh semua anggota keluarga Umma untuk ke meja makan yang telah di tata oleh Syilla.

Walaupun mereka selalu menolak, tapi dengan paksaan Bunda akhirnya semua mau untuk makan malam bersama.

Saat di pertengahan jalan, mereka melupakan bahwa Zain tadi memecahkan sesuatu disaat dia keluar membawa kecoa di punggung. Syilla terkejut, ingin marah. Tapi ia tahan.

Ternyata, yang berbunyi nyaring tadi adalah piring untuk pudding buah kesukaan Syilla. Ia tidak mungkin marah karena hal sekecil ini. Tahan saja, nanti akan ada waktu untuk bicara. Pikir Syilla.

Bang Zani duduk di samping Zain. Ia tersadar, jika muka Syilla tidak seperti tadi. Walaupun Syilla sedari tadi tidak menampilkan giginya, tapi ia tau bahwa keadaan gadis itu sedang tidak baik.

Gadis cantik itu tengah membersihkan pecahan kaca piring dengan menatap benci seorang Zain. Sepanjang bebersih, ia selalu saja menggerutu.

"Dasar, udah numpang gak tau diri lagi. Udah gitu kayak gak kenal, ck dasar tua. Mana ini makanan kesukaan ku. Ya Allah cobaan apalagi ini." Mulut Syilla komat-kamit mengucapkannya.

Tatapan Syilla seakan ingin menerkam mangsanya saat itu juga. Bang Zani menyadari tatapan Syilla itupun hanya tersenyum canggung.

Bang Zani menggeser kursi tempat duduknya guna mendekat ke arah Zain. Zain yang menyadari, menolehkan pandangannya.

"Zain, kamu habis mecahin piring tadi gak ngerasa bersalah? Kasian itu. Lihat deh. Tatapannya udah kayak mau makan kita aja nih." Ucapnya sembari berbisik kecil.

"Trus kenapa? Hubungannya ama Zain apa Bang?" Zain yang otak lemot dan Syilla yang sangat peka memang harus bersatu memang.

"Ya ganti rugi kek. Coba ganti makanan di toko sebelah jalan tadi kan banyak." Bang Zani memijat pelipisnya bingung.

"Yaudah beliin." Astaghfirullah, bolehkah bang Zani berkata kasar?.

"Ya kan kamu Zain yang mecahin, coba belajar tanggung jawab. Mau gak mau kamu harus ajak dia pergi beli makanan habis ini. Kalau gak mau makanan ya beliin baju aja." Zain menanggapi dengan memberikan jempol tangannya.

Beberapa menit telah berlalu, kini para perempuan sedang sholat berjamaah di ruang khusus untuk sholat di rumah Syilla, dengan Bunda yang menjadi imam.

Dan para lelakinya pergi ke masjid dekat rumah Syilla. Untung saja mereka membawa sarung di bagasi mobil untuk berjaga-jaga jika mereka sholat di tengah perjalanan.

Sandaran [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang