"Jam berapa kau pulang tadi malam, Nak? Kenapa tidak membangunkan, Ibu?" tanya Bu Sari setelah mendudukkan dirinya di sisi ranjang tempat Betari duduk sekarang.
"Betari kau kenapa, Nak?" tanya Bu Sari lagi karena Betari hanya duduk diam dengan pandangan kosong ke depan.
"Betari kau kenapa, Nak?" tanya Bu Sari untuk yang ketiga kalinya.
Tapi kali ini sambil mengguncang bahu Betari karena putrinya itu masih diam di tempatnya. Sungguh membuat Bu Sari merasa curiga, bingung dan juga ketakutan. Khawatir ada sesuatu yang sudah terjadi terhadap putri kesayangannya tersebut.
"Ibu!"
Betari berhambur ke dalam pelukan Ibunya sambil menangis pilu, membuat Bu Sari semakin dilanda kebingungan. Sebenarnya apa yang sedang terjadi dengan putri semata wayangnya itu.
"Kau ini kenapa Nak. Ayo ceritakan kepada Ibu!" bujuk Bu Sari sembari mengusap lembut punggung putrinya.
Namun Betari masih tetap bergeming, ia semakin menenggelamkan wajahnya ke dalam dada sang Ibu agar bisa meredam isaknya yang seakan tidak mampu untuk ia tahan.
"Betari, kalau ada masalah ceritakan kepada Ibu, Nak. Apa kau sedang ada masalah di tempat kerjamu?"
Bu Sari masih berusaha untuk membujuk putrinya agar mau berterus terang kepadanya. Karena bagaimanapun juga hanya putrinya inilah yang ia miliki di dunia ini. Melihat putrinya menangis dan bersedih seperti ini membuat Bu Sari begitu sakit dan seakan tersayat hatinya.
"Kalau kau tidak mau cerita bagaimana Ibu bisa membantumu, Nak?"
Karena tidak ingin membuat wanita yang telah melahirkannya semakin khawatir, dengan perlahan Betari pun melepaskan tangannya dari tubuh sang Ibu. Betari mengumpulkan sisa kekuatannya agar mampu menatap wajah teduh Ibunya. Meski sebenarnya Betari merasa hancur dan trauma.
"Maafkan Tari Bu, maafkan Tari." Betari berucap sambil terisak.
Mendengar putrinya berkali-kali mengucapkan kata maaf, membuat Bu Sari bingung sendiri. Berusaha meraba apa yang sebenarnya terjadi hingga sang putri melakukan hal itu.
"Kenapa kau terus meminta maaf, Nak? Memang kesalahan apa yang sudah kau lakukan?"
"Maaf karena Tari belum bisa menjadi anak yang bisa Ibu banggakan. Bahkan Tari sudah mengecewakan Ibu."
Perkataan yang keluar dari mulut Betari memang terdengar ambigu. Namun Bu Sari sama sekali tidak mengerti maksud dari perkataan putrinya itu.
"Astaga Tari, jadi hanya karena itu kau sampai menangis seperti ini? Kau ini ada-ada saja, Nak. Ibu pikir ada apa. Sudah Nak tidak apa-apa karena bagi Ibu kau adalah putri Ibu yang sangat membanggakan. Kau tidak pernah sekalipun mengecewakan Ibu seperti yang kau katakan tadi. Sudahlah jangan menangis lagi, Sayang."
Bu Sari membersihkan lelehan air mata yang membasahi pipi putrinya dengan menggunakan Ibu jari.
"Ibu harus menyelesaikan pekerjaan di belakang, Nak. Kalau kau masih lelah dan mengantuk kau bisa melanjutkan kembali tidurmu. Ibu keluar dulu!"
Satu kecupan lembut Bu Sari berikan di atas kening Betari sebelum ia pergi meninggalkan kamar putrinya.
"Maafkan Betari Bu, maafkan Betari yang tidak bisa bercerita jika Betari sudah diperkosa!" batin Betari sendu sembari menatap nanar punggung sang Ibu yang semakin menjauh meninggalkan dirinya.
Memori otak Betari kembali mengingat kejadian tadi malam. Di mana ia telah diculik dan diperkosa oleh pria asing yang sama sekali tak dikenalnya.
"Tidak! Tidak mau, lepaskan aku!"
Betari terus menolak dan merontah saat pria asing itu memaksanya masuk ke dalam sebuah rumah kosong yang tidak ia ketahui siapa pemiliknya. Mungkinkah milik pria asing ini? Begitu pikir Betari. Namun ia tidak mau terlalu memusingkannya karena fokusnya saat ini adalah bagaimana ia bisa terlepas dari pria gila itu.
"Diam!" hardik pria itu dengan kejam.
Pria itu segera melemparkan tubuh Betari ke atas ranjang saat mereka sudah berhasil masuk ke dalam sebuah kamar.
"Tolong lepaskan aku. Aku mohon jangan seperti ini!" hibah Betari dengan raut wajah yang terlihat semakin ketakutan. Lelehan air mata juga tidak berhenti keluar dari sudut mata gadis itu.
"Diam jalang! Bukankah ini pekerjaanmu. Cepat layani aku karena kau sudah tidak tahan lagi. Obat perangsang sialan!" umpat pria asing itu hingga membuat Betari semakin memucat.
Kedua mata Betari membulat sempurna saat mendengar umpatan pria asing di hadapannya sekarang. Ini gila, ternyata pria asing itu telah salah paham karena sudah menganggapnya sebagai seorang wanita malam. Ini tidak bisa dibiarkan, Betari harus segera menjelaskannya sebelum pria asing itu berbuat lebih kepadanya.
"Tidak ... tidak, aku buk-"
Terlambat, pria asing itu telah membungkam mulut Betari dengan ciumannya sebelum Betari berhasil menjelaskan kesalapahaman di antara mereka berdua. Betari berusaha sekuat tenaga merontah ingin melepaskan diri. Tapi tenaga pria itu bukanlah tandingannya. Pria itu seperti kesetanan saat menyerang Betari, mungkin karena pengaruh dari obat yang telah masuk ke dalam tubuhnya.
Dengan hitungan detik pria itu sudah berhasil menelanjangi Betari dan siap untuk mencabik kehormatan Betari. Hingga membuat gadis itu semakin meraung dalam tangisnya.
"Tidak ...!"
Teriakan Betari terdengar menggelegar hingga memenuhi isi kamar saat ia mengingat kembali detik-detik di mana ia harus kehilangan kehormatannya. Betari menekuk lutut dan semakin menenggelamkan wajahnya di sana, menumpahkan tangis yang sejak semalam tidak bisa ia tahan. Hingga tanpa Betari sadari ia tertidur akibat terlalu lelah menangis.
Usapan lembut di pipi yang diberikan oleh Bu Sari membuat Betari terjaga dari lelapnya. Entah sudah berapa lama ia tertidur.
"Betari, bangun Nak. Ini sudah sore, apa kau tidak lapar? Kau belum makan apa-apa sejak tadi pagi, Nak."
Suara lembut Bu Sari membuat Betari mengerjapkan kedua kelopak matanya dengan pelan.
"Maaf Bu, Tari ketiduran," jawab Betari dengan suara seraknya.
"Ya sudah, sekarang kau mandi. Setelah itu baru makan, sudah lapar 'kan?"
Satu jam telah berlalu, Betari sudah terlihat lebih segar setelah menyelesaikan mandi dan makannya. Kini Betari dan Bu sari sudah duduk bersisian di atas sofa yang ada di dalam ruang keluarga.
Bu Sari meraih tangan sang putri kemudian menggenggamnya, hingga membuat Betari mengalihkan fokusnya dari layar televisi di depan.
"Sebenarnya ada yang ingin Ibu bicarakan, Nak. Maaf jika Ibu sudah mengambil keputusan tanpa meminta pendapatmu dulu. Semoga kau bisa mengerti dengan keadaan Ibu saat itu."
"Maksud Ibu apa?"
"Kemarin sore Ibu sudah menerima perjodohanmu dengan salah satu putra dari keluarga Wibisana."
Tubuh Betari membeku untuk beberapa saat, setelah mendengar apa yang baru saja disampaikan oleh Ibunya tadi.
"Apa, perjodohan Bu?"
Betari berusaha mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh Ibunya. Berita ini terdengar begitu mengejutkan karena disampaikan secara mendadak dan juga tiba – tiba. Bagaimana mungkin ia bisa menerima perjodohan yang telah mereka rencanakan, sedangkan ia sama sekali tidak mengenal siapa laki-laki yang telah dijodohkan dengannya.
"Iya Nak, maaf sudah membuatmu kaget. Sebenarnya ini adalah wasiat terakhir yang diberikan Ayahmu sebelum meninggal. Beliau menginginkan agar kau bisa menikah dengan salah satu putra dari Pak Guntur Wibisana."
Betari sudah tidak sanggup berucap apa-apa. Pikirannya kacau, masalah datang bertubi-tubi dalam waktu sesingkat ini. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain pasrah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Anak Suamiku (Lanjut Di Good Dreamer)
RomanceKetika Betari Jatayu harus terjebak dalam permainan dua saudara yang memiliki karakter saling bertolak belakang. Dia harus rela dijodohkan dengan saudara dari pria yang telah merenggut kesuciannya. Samudera Alam Perkasa adalah pria yang telah mengam...