Arti sebuah persahabatan

24 2 0
                                    

"Betari apa maksudmu, Nak? Syarat apa yang akan kau berikan kepada calon suamimu nanti?" tanya Bu Sari yang tidak mengerti akan maksud dari perkataan putrinya tadi.

Memang apa syarat yang akan diajukan oleh sang putri kepada calon suaminya nanti? Begitu pikir Bu Sari.

Betari beranjak dari tempat duduknya, berjalan mendekat ke arah jendela dan melihat pemandangan di luar yang sudah gelap. Semilir angin yang menerbangkan helaian rambut gadis itu membawa hawa yang cukup sejuk.

"Ibu tahu sendiri kan sejauh apa perbedaan keluarga kita dengan keluarga Wibisana yang terhormat itu. Kadang kala Betari merasa minder dan tidak pantas untuk menjadi bagian dari keluarga itu. Tapi Betari juga tidak bisa menolak perjodohan yang sudah terlanjur direncanakan oleh mendiang Ayah dan juga kakeknya Mas Dewa."

Gadis itu tampak menjeda kalimatnya, berusaha untuk mengambil napas dalam sebelum kembali berkata-

"Betari hanya meminta sedikit saja pengertian Mas Dewa, agar mengizinkan Betari untuk bisa hidup seperti sebelum pernikahan kami terjadi, supaya Betari bisa terus menjadi diri Betari sendiri. Betari takut tidak bisa mengimbangi kehidupan Mas Dewa yang sudah terbiasa dengan kemewahan."

Mengerti dengan keresahan yang dirasakan putrinya, membuat Bu Sari angkat suara.

"Ibu mengerti dengan apa yang kau rasakan sekarang, Nak. Lebih baik kau membicarakan masalah ini kepada Nak Dewa sebelum ijab kabul kalian besok. Nak Dewa adalah pria yang baik, dia pasti akan mengerti dengan keadaan kita, mengapa kau sampai meminta syarat seperti itu kepadanya."

Bu Sari memberikan usapan lembut di pundak kanan putrinya. "Ibu akan selalu ada untuk mendukungmu. Lakukan yang terbaik jika itu menurutmu benar."

"Terima kasih Bu, terima kasih banyak karena selalu berada di sisi Tari, menjaga, mendoakan dan mendukung apa pun keputusan Tari."

Betari langsung berhambur ke dalam pelukan Ibunya yang hangat.

"Sekarang kau harus makan, Nak!" ucap Bu Sari setelah mereka saling melepaskan pelukan.

Ekor mata wanita paruh baya itu melirik ke arah piring yang masih utuh isinya. Kemudian mengajak putrinya untuk kembali duduk di sisi ranjang.

Betari memakan makan malamnya di depan sang Ibu. Namun, ia tidak dapat menghabiskan semua makanan yang ada di atas piring karena merasa perutnya sudah penuh.

"Kenapa tidak dihabiskan?" tanya Bu Sari setelah mengalihkan pandangannya ke arah piring yang makanannya masih tersisa separuh.

"Tari sudah kenyang Bu. Maaf!"

Betari merasa tidak enak hati karena telah menyia-nyiakan makanan di depan Ibunya. Padahal untuk mencari sesuap nasi saja ia harus berkerja banting tulang dengan begitu keras. Tapi bagaimana lagi jika lambungnya sudah tidak mampu lagi untuk menampung makanan lebih banyak.

"Sudah tidak apa-apa, Nak. Sini biar Ibu bawa ke belakang piring kotornya."

Bu Sari sudah akan mengangkat piring kotor bekas makan putrinya, tapi segera dicegah oleh gadis itu karena tidak ingin merepotkan Ibunya lebih banyak lagi.

"Jangan Bu, biar Betari saja yang membawanya. Ibu istirahat saja karena sekarang sudah malam."

"Baiklah, Ibu akan istirahat sekarang. Kau juga harus segera istirahat karena besok kau akan menjalani pernikahnmu dengan Nak Dewa. Selamat malam Nak, tidurlah yang nyenyak."

"Iya Bu, selamat malam."

Setelah melihat Ibunya menghilang dari balik pintu, Betari segera mendudukkan dirinya ke atas ranjang. Menarik napas dalam, berusaha mengurai rasa sesak yang kembali menghantam dadanya. Betari tidak tahu seperti apa kehidupan rumah tangga yang akan ia jalani bersama Dewangga nanti. Apalagi pernikahan mereka terkesan mendadak dan sangat terburu-buru.

Bukan Anak Suamiku (Lanjut Di Good Dreamer)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang