Dia yang bertanya

153 21 1
                                    

Aku terbangun saat mendengar suara ribut dari luar, enggan rasanya untuk terbangun di saat seperti ini karena aku masih merasa takut akan kejadian kemarin. Aku berharap itu semua hanya mimpi, mimpi buruk yang akan segera menghilang saat aku membuka mata.

Namun semua hanya angan, tanpa terasa aku menangis kembali. Tubuhku bergetar hebat dan raungan yang kecil menjadi besar, jika setelah ini aku masih baik-baik saja, aku sangat bersyukur akan hal itu. Terkadang aku bertanya, apa hal seperti ini memang harus aku lalui?

Ini semua tidak sebanding dengan keinganku, maksud ku adalah; aku hanya ingin membantu Chia untuk mencari tahu siapa orangtua kandungnya, lalu jika ada kesempatan sekecil apapun itu, aku juga ingin mencari tahu keberadaan kakak. Sekalipun aku tahu kemungkinan untuk menemukannya sangatlah kecil, tapi sumpah, aku sangat merindukannya.

"Menangislah sepuasmu, jangan ditahan."

Itu Kim dan aku bersyukur karena dia tidak menanyakan apapun tentang kondisiku sekarang, karena aku tahu dengan jelas jika, aku tidak baik-baik saja. Aku jauh dari keadaan tersebut, "Kim, bagaimana dengan keluarganya? A-apa mereka sudah tahu?"

Ada jeda sejenak saat pertanyaan tersebut mengalir di udara, aku tidak tahu apa yang membuat Kim tidak langsung menjawabnya. Jujur saja itu semakin membuatku tidak nyaman, bagaimana jika keluarga Piko menuntutku dan—

"Dia tidak memiliki keluarga dan sanak-saudara, anak yatim-piatu saat Big tidak sengaja menemukannya dan... yah, dia sendirian."

Oke, itu semakin membuatku merasa sakit. Tangisku semakin menjadi saat mengetahui jika Piko hanyalah seorang diri di dunia ini, "Itu semakin membuatku bersalah, di mana dia dikuburkan?"

Kali ini aku berusaha menahan tangisku, "Aku ingin memberikan penghormatan terakhir," Ucapku dengan suara serak.

Kim berucap pelan padaku, "Kamu bisa mengunjunginya nanti."

"Benarkah? Di mana?"

"Pemakaman keluarga kami, akan aku bawa kamu ke sana."

"Begitu..." perlahan aku mencoba bangun dan duduk bersisian dengan Kim, pemuda ini rupanya sedang sibuk dengan layar tablet miliknya. Entah apa yang ia cari, mataku terlalu minus untuk melihatnya dengan jelas.

"Can you give me a hug?"

Aku bertanya dengan menatap langsung wajah Kim dari samping, sungguh, ia terlihat sempurna dengan pahatan wajah bak dewa Adonis. Hidung mancung, rahang yang tegas, bulu mata yang lentik dan oh, tatapan mata Kim memang tajam dan sepertinya aku baru sadar akan hal itu.

Kim mengerutkan kening tidak paham, yang mana membuatku tersenyum kecil. Melihat wajah orang tampan memang sebuah obat yang mujarab, "Jika kamu bertanya alasannya, aku rasa karena aku akan baik-baik saja setelahnya. Dulu, kakak selalu memeluk ku dan—"

Walau terpaksa dan terkesan tidak senang, Kim tetap mengikuti kemauan ku. Pelukannya terasa kaku tidak seperti saat itu, tapi aku tidak terlalu mempermasalahkannya. Aku sudah cukup senang karena Kim mau melakukannya, "Terima kasih, aku sudah jauh lebih baik."

"Ya," saat Kim menepuk pelan punggungku, aku hanya tersenyum dan memeluknya semakin erat. "Senang mendengarnya," Kim berniat melepas pelukan tersebut, namun aku dengan cepat menahan pria itu. Aku terkekeh kecil dan ia menggerutu dengan jelas.

"Aku suka wangimu Kim, rasanya memabukkan."

Aku serius saat mengatakan hal tersebut, wangi orang kaya memang beda. Selain ia wangi kekayaan, Kim juga memiliki wangi yang memabukkan. "Candunya Tuhan..."

Saat asik membaui Kim, pintu kamar terbuka paksa dari luar, membuatku mau tidak mau menjauhkan diri dari Kim. Aku berdecak, kesal dengan siapa yang mengganggu tapi berubah menjadi lega saat melihat Chia yang masuk.

11:11 [KIMCHAY]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang