Prologue

406 51 213
                                    

[TRIGGER WARNING; Suicidal, Depression]

.
.
.

Tokyo; Musim gugur, 2013.

.

Aroma bangunan tua bercampur semen kotor di sekitar semakin menyengat tatkala angin yang membawa daun-daun kering berwarna oranye berembus tak sabaran. Jaket olahraga yang dikenakan oleh seorang remaja laki-laki juga ikut mengepak-ngepak dengan kasarnya.

Yasutake Ryouta, nama remaja tersebut, sedang berdiri seorang diri setelah melalui puluhan anak tangga hingga mencapai lantai atap dari sebuah gedung terbengkalai, yang entah konstruksinya terhenti karena alasan apa. Padahal lokasinya ada di kota, dekat dengan Tokyo Metropolitan Gymnasium, di mana pertandingan basket antar SMP berakhir tak lama lalu dalam sebuah turnamen bola basket musim gugur.

Musim gugur, ya.

Ryouta yang terlahir di musim panas tidak pernah membenci musim ini sebenarnya,

--tapi.

Menit demi menit telah berlalu. Ryouta menghabiskan beberapa waktunya dengan geming tanpa suara. Wajah tanpa ekspresi yang sedari tadi tertunduk kini sedikit terangkat, mengantarkan mata gelapnya berhadapan dengan sinar matahari yang secara berkala tertutup oleh awan. Tas olahraga yang semula menggantung di bahu lantas ia biarkan terjatuh di permukaan berdebu. Mungkin karena resleting tasnya tidak benar-benar tertutup, bola basket yang tadinya berada di dalam tas tanpa sengaja terpantul dan menggelinding melewatinya.

Bola basket istimewa itu adalah bola basket pertama Ryouta yang Ryouta dapatkan dari ayahnya. Keusangannya cukup untuk menggambarkan bertahun-tahun lamanya sejak dia menyukai basket. Hingga kini pun, Ryouta tidak akan pernah bisa berhenti menyukai olahraga itu,

meskipun kakinya kini terpincang dan harus menggunakan kruk untuk berjalan,

meskipun ayah dan kakeknya tidak setuju dengan mimpinya,

bahkan, senyum manis adik dan kasih sayang ibunya tidak lagi membuatnya merasa lebih baik,

juga kenangan yang telah dia rajut bersama tim basket sekolahnya.

Semuanya luluh lantak secara perlahan bersama mimpi dan janji yang pernah dia buat.

Waktu Ryouta pun telah habis dan sekarang saatnya untuk pergi.

'Onii-chan¹.'

Deg.

Langkah kaki Ryouta yang terseok mendadak berhenti. Di antara kekacauan yang ada di dalam kepalanya, Ryouta berusaha menangkap salah satu suara yang timbul-tenggelam.

'Kapten!'

Kali kedua Ryouta mendengar suara lain yang menyahut, kepalanya menoleh ke balik punggung di mana letak tangga yang tadi dia lewati berada. Namun, tidak ada seorang pun di sana selain hanya dirinya.

Lantas, dia menyadari jika suara-suara itu hanya sebuah halusinasi. Pun sekelebat suara yang saling tumpang-tindih yang kembali mengisi ruang kepalanya, meredam bunyi ponsel yang sedari tadi berdering dan hiruk-pikuk kota yang berada tak jauh dari gedung itu.

Gomen ne².

Ryouta lanjut melangkah.

Dia berusaha menepis akan ada harapan serta keraguan hati yang timbul.

Tepat sebelum berada di titik terujung sehingga dia bisa melihat langit yang luas di atas ribuan dedaunan serupa warna bola kesukaannya, Ryouta melepaskan sepatu kesayangannya dengan rapi. Begitu pun dengan kruk, yang menjadi temannya selama beberapa bulan terakhir, dia jatuhkan di dekat sepatunya.

Ryouta tersenyum dan memejamkan matanya.

Ah, betapa dia bersyukur dengan hidupnya sampai hari ini.

Sayonara³.

.
.
.

◍◍◍◍◍◍◍

"Aku bersyukur bisa hidup sampai
hari ini."
-Yasutake Ryouta-

◍◍◍◍◍◍◍

______________________________________
¹Onii-chan = panggilan untuk kakak laki-laki
²Gomen ne = maafkan aku
³Sayonara = selamat tinggal

Forget Him NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang