10. Heroine

51 21 97
                                    

[TRIGGER WARNING: kekerasan, traumatis, darah, senjata tajam, keluarga]

.
.
.

Musim semi, 2009.

.

Tiga tahun lalu, tepatnya, ketika seantero Jepang mulai dipenuhi bunga Sakura yang bermekaran, Yoshida Mai masih lah menjadi seorang gadis ceria nan sentil yang disukai banyak orang. Teman-temannya juga terkagum-kagum dengan Mai karena memiliki aura positif yang menyenangkan, pun gaya dan penampilannya yang lebih trendy dibandingkan anak-anak di seusianya pada tahun itu. Terlebih pembawaannya yang suka tersenyum dan memiliki lengking suara yang terdengar merdu.

Seperti saat ini, Mai--usia sebelas tahun--yang baru saja memisahkan diri dari teman-temannya sepulang sekolah.

"Mata ashita¹, minna²!"

Bersama seorang anak laki-laki, Mai berjalan beriringan, sambil membawa randoseru³ di pundak masing-masing, mereka tertawa bersama dan saling berbincang ringan khas anak-anak kelas 5 sekolah dasar.

"Arigatou⁴, Ryouta-kun. Aku selalu merepotkanmu dalam pelajaran maupun mengantarkanku sampai rumah," ucap Mai sambil melengkungkan senyum manis. Gadis dengan kepang kecil di salah satu sisi kepala itu kemudian mengedipkan sebelah mata jahil dengan telunjuk menempel pada bibir. "Ryouta-kun mau mampir? Okaasan mungkin membuat kue Dango kesukaan Ryouta-kun."

"Tidak masalah, dan tidak. Terima kasih," tegas anak laki-laki bernama Yasutake Ryouta, menghilangkan senyum yang sempat terpatri, mati-matian menahan diri untuk tidak tergoda dengan Dango yang sudah terbayang dalam kepala. Dia lalu hendak berbalik, bersiap pergi. "Aku mau pulang dan segera mengerjakan PR. Ada janji bermain baseball dengan Arata, soalnya. Kalau kau perlu bantuan dalam belajar, katakan saja. Jangan lupakan juga PR-mu itu. Aku pergi dulu."

"Ah, Ryouta-kun! Tunggu!"

Mau tak mau, Ryouta kembali menengok ke belakang. Selain menahan lengan Ryouta, anak perempuan itu tampak sedang menggigit bibir bawah sambil menggembungkan pipinya. Dari mata Mai yang bersirobok dengan matanya, Ryouta menyadari sesuatu yang ganjil pada diri Mai.

"Ada apa? Kau perlu sesuatu?"

"A-aku cuma mau bilang kalau Ryouta-kun terlalu baik ke semua orang. Bukannya Ryouta-kun menyukai basket? Kenapa justru bermain baseball? Lagipula kalau mereka butuh orang kan bisa cari orang lain. Kenapa harus Ryouta-kun?"

Ryouta yang mulanya terkejut kemudian tersenyum lebar.

"Setiap weekend, aku selalu bermain basket kok di lapangan dekat taman, di sana banyak anak-anak sekolah tingkat atas yang mengajariku. Kalau bersama teman-teman, hanya Ikku yang mau kuajak. Kau tahu sendiri kan kalau olahraga baseball jauh lebih digemari?" Ryouta mengusap lehernya dengan resah. "Jadi, jangan mengkhawatirkan hal itu."

"Tapi--e? Tunggu. Ryouta-kun tidak pernah cerita kepadaku soal itu. Uh, gomen⁵. Aku hanya ingin mendukungmu suatu saat nanti. Maksudku, karena aku tergabung dalam cheers sekolah, aku juga ingin mendukungmu dari pinggir lapangan sebagai seorang pemandu sorak."

Sekolah mereka memang tidak ada ekstrakulikuler, tapi di beberapa kesempatan khusus, sekolah mereka mengumpulkan perwakilan murid untuk dilatih dan dikirimkan pada event ataupun perlombaan di luar sekolah. Salah satunya kegiatan cheers ini.

"Hai, hai⁶. Aku menantikannya kalau begitu." Ryouta tersenyum senang. Ia mengusap puncak kepala Mai dengan singkat. "Membayangkannya, aku jadi tak sabar melihatmu dari tengah lapangan."

Mai mengangguk, entah bagaimana dia merasa tenang saat hangat mendarat di atas kepalanya. Tapi bukan cuma soal itu, ucapnya dalam hati.

"Kapan ya, tapi?" tanya Ryouta bersama napas halus terhela. Kedua tangannya mendekam ke dalam saku celana. "Mungkin saat SMP. Aku ingin bergabung dengan klub basket di sana."

Forget Him NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang