9. Kokuhaku

58 29 133
                                    

Seusai terdiam beberapa jenak, tiba-tiba Mai membuang muka. Terdengar 'huh' kesal dari mulutnya. Gadis itu kemudian berjalan menjauh menuju pembatas balkon tanpa berucap satu patah kata pun.

Melihat hal itu, Ryouta dan teman-temannya yang masih tampak di layar ponsel jadi kebingungan.

"Diskusi kita sudah selesai, kan?" Ryouta memecah keheningan. Terdengar kekeh rendah dan terdapat senyum yang dipaksakan pada raut wajahnya. "Jaa na¹. Aku duluan. Oyasumi², minna³."

Tut.

Video call bersama teman-temannya pada akhirnya Ryouta putus. Perihal kabel headset sempat dia cabut dari ponsel, Mai pasti mendengar ucapan teman-temannya tadi. Apalagi mengingat sikap Mai, Ryouta jadi menyimpulkan bahwa Mai sedang marah. Kali berikutnya Ryouta berbicara, dia memutuskan untuk berhati-hati.

"Jadi...apa kau ingin membicarakan sesuatu kepadaku, Mai?"

Tidak ada respons. Mai masih bergeming membelakanginya sambil memegangi railing balkon. Ryouta membuang napas, lalu beranjak berdiri untuk menghampiri Mai.

"Mai. Kalau kau marah--"

Ucapannya terputus ketika dia berusaha melihat wajah Mai, tetapi Mai lagi-lagi membuang muka dan berusaha menghindar dari Ryouta.

"Kau marah sungguhan? Maafkan sikap teman-temanku tadi."

Ryouta masih berusaha berhadapan dengan Mai sampai gadis itu berakhir menyerah saat Ryouta meraih tangannya dan mau menghadap Ryouta. Namun pada saat itu juga, Ryouta tersadar dengan air muka Mai yang tak seperti biasanya.

Mata gadis itu jelas menghindari sorot mata Ryouta. Sambil menggigit bibir bawahnya, Mai kelihatan malu-malu. Yah, meskipun saat ini Mai tidak berpenampilan modis seperti saat Ryouta tanpa sengaja melihat Mai di pusat perbelanjaan di Akihabara, melainkan hanya mengenakan kaos kebesaran dan celana selutut milik Ryouta dengan rambut terurai melebihi bahu, tapi Mai yang manis seperti ini tetap menjadi seseorang yang Ryouta suka.

Ryouta berdeham dan menggulirkan bola matanya ke arah lain. Jantungnya tiba-tiba berdebar tak keruan. Menyadari suasana di antara mereka jadi canggung, dia pun melepaskan tangan Mai.

"Kalau kau tak jadi bicara. Tidak apa. Aku akan masuk duluan."

"T-tunggu, Ryouta-kun." Kali ini Mai sudah bisa menatap mata Ryouta meskipun sesekali melihat ke arah lain. "Aku tidak marah kok."

Mai mengulum senyum agak malu.

"Begitu. Aku lega mendengarnya. Jadi, apa yang mau kau bicarakan?"

"Ano...eto⁴...apa aku mengatakan sesuatu yang membuat Ryouta-kun kesal?"

"Eh?"

"Maksudku, Ryouta-kun tadi sempat bersikap aneh. Saat di ruang makan, Ryouta-kun tiba-tiba saja pergi. Eto, tapi apa mungkin hanya perasaanku saja?" Mai lalu tertawa canggung karena khawatir apa yang barusan dikatakan hanya sebuah prasangka semata.

"Itu...entahlah." Ryouta bersandar pada pembatas. Sambil menaruh siku di atasnya, dia menggunakan tangan yang lain untuk mengusap lehernya. Napasnya terhela samar sebelum kembali berbicara. "Sebenarnya aku sempat membayangkan kalau kau tidak akan kembali ke Tokyo--bertahun-tahun, seperti dulu, saat kau pergi tanpa mengatakan satu patah kata pun padaku."

"Ryouta-kun..."

"Tapi kalau kau tak pergi. Orang jahat itu akan kembali mencarimu. Padahal aku ingin melindungimu, tapi tidak bisa." Ryouta tersenyum masam, lalu pandangannya menerawang. "Seperti saat itu, ketika kau berada dalam masalah. Aku bahkan tidak bisa membantumu."

Forget Him NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang