19 (fakta mengejutkan)

12.1K 888 30
                                        

Aku pulang ke rumah dengan senyum yang tak pernah luntur dari wajahku. Semua percakapan antara Catra dan Aldo tadi siang masih terngiang di pikiranku. Tatapan ragu Aldo saat mendengar kata-kata Catra membuatku semakin yakin bahwa menghancurkan keluarga Pratama adalah tugas yang semakin mudah.

"Oi, abang!" panggil Oliver dari pintu kamarku.

"Ayah, bisa tidak bilang permisi dulu sebelum masuk ke kamarku? Untung aku tidak punya riwayat penyakit jantung!" protesku dengan nada kesal.

"Biasanya juga kau sibuk dengan buku-bukumu itu!" balas Oliver dengan nada menyindir.

"Buku di kamarku sudah kubaca semuanya. Untuk saat ini, aku fokus menghancurkan keluarga Pratama secara perlahan," jawabku sambil menyeringai, memikirkan langkah berikutnya.

"Aditya sudah sadar. Dia menanyakan keberadaanmu," ucap Oliver serius.

Aku langsung menatapnya. "Ayah, jangan pernah sekalipun membocorkan rencanaku atau rencana Papi pada Aditya," tegasku, memperingatkan.

"Jangan coba-coba mengancam ayahmu, Othello Pranaja Zayan!" balas Oliver dengan nada kesal.

Aku mendesah singkat, malas memperpanjang perdebatan. Segera, aku mengambil pakaian bersih dari lemari dan masuk ke kamar mandi untuk mengganti baju. Setelah selesai, aku dan Oliver bersiap menuju rumah sakit untuk menjenguk Aditya.

Di lorong rumah sakit, setiap karyawan yang kami lewati langsung membungkukkan badan sebagai tanda hormat. Aku sudah terbiasa dengan perlakuan ini, tetapi identitasku sebagai pewaris utama keluarga Zayan tetap menjadi rahasia besar. Oliver selalu mengingatkan bahwa mengungkapkan identitas itu terlalu berbahaya, dan aku setuju dengannya untuk sementara waktu.

Namun, langkahku terhenti tiba-tiba. Samar-samar, aku mendengar suara rengekan dari arah lain lorong. Rasa penasaran menguasai diriku. Tanpa memberi tahu Oliver, aku berbalik dan berjalan mengikuti suara itu.

Tak jauh dari tempatku berdiri, aku melihat sebuah pemandangan yang langsung menarik perhatianku. Di sana ada Aprian, Adrian, Aldo, dan Arya sedang bercanda riang, tampak seperti saudara yang harmonis tanpa celah. Pemandangan itu seolah menjadi ejekan bagiku. Sebuah "kesempurnaan" yang menyebalkan.

Dengan langkah tenang dan wajah dingin, aku mendekati mereka. Saat aku semakin dekat, mereka mulai menyadari kehadiranku. Tawa mereka mereda, berganti dengan tatapan penuh tanya.

"Wah, anak pungut berbahagia sementara anak kandung menderita. Takdir yang tidak adil sama sekali!" sindirku dengan nada dingin.

"Kau selalu mengganggu keluarga kami. Apa maumu, bocah?!" desis Aprian dengan wajah penuh kemarahan.

"Mauku mudah kok," jawabku santai, namun penuh tekanan.

"Apa itu? Cepat katakan!" pekiknya tak sabar.

"Kalian semua mati," ucapku tegas, dengan tatapan tajam.

"Kau bukan yang menentukan kematian seseorang!" Aldo balas dengan kesal.

"Ucapanmu benar. Aku bukan malaikat maut yang bisa mencabut nyawa kalian satu per satu. Tapi percayalah, kematian kalian akan segera datang... sebentar lagi," balasku, sambil menyunggingkan senyum smirk yang membuat mereka semakin gusar.

Aku mendekat ke arah Arya, membuatnya sedikit mundur dengan wajah bingung. Namun, aku terus maju hingga cukup dekat untuk membisikkan sesuatu di telinganya. Wajah Arya seketika menegang, matanya membelalak penuh keterkejutan.

Selesai berbisik, aku mundur dengan santai, lalu mengeluarkan sapu tangan untuk membersihkan tanganku, seolah aku baru saja menyentuh sesuatu yang kotor.

Transmigrasi Ello (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang