Bab 17: Tidak akan pernah kembali

1.5K 330 31
                                    

🌸🌸🌸

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌸🌸🌸

"Pagi, Kak Thava."

"Pagi Issa."

Marissa baru saja keluar dari dalam kamarnya dengan sudah rapi berseragam tak lupa tas ransel di pundaknya. Marissa menghampiri Thava yang tengah menyiapkan bekal di meja dapur. Marissa menaruh tas sekolah nya lebih dulu di atas sofa yang ada di ruang depan. Kebetulan untuk ukuran rumah yang tak begitu besar, batas antara ruang depan dan dapur hanyalah sebuah meja bar kecil, yang mana dapur akan terlihat jika baru saja memasuki pintu rumah. 

"Kak Thava hari ini masak apa?" ucap Marissa. 

"Gak masak, Sa. Tadi kakak beli nasi uduk di depan."

Biasanya memang Azhiva yang memasak, sebab kata Reva, masakan Cethava tidak enak, maksudnya tidak seenak buatan Azhiva. Cethava sengaja membeli sarapan lebih dulu tadi sebelum kakaknya bangun, karena Cethava ingin Azhiva bisa istirahat lebih lama tanpa harus menyiapkan sarapan untuk mereka.

"Kak Zi masih tidur kan?" tanya Cethava.

"Nggak. Dia udah mandi, tadi aku liat lagi beres-beres kamar."

Cethava berdecak kecil, kakaknya memang susah disuruh untuk diam dulu. Padahal semalam suhu tubuhnya tinggi, Cethava hanya ingin kakaknya itu beristirahat. "Kakak mu itu emang gak bisa diem banget ya, Sa. Aku tuh sengaja beli sarapan biar dia gak perlu repot masak. Semalam suhu tubuhnya tinggi soalnya."

"Kak Zi sakit? Pantas semalam dia pakai selimut, biasanya jarang," ungkap Marissa.

"Pagi." 

Cethava dan Marissa menoleh bersamaan saat Azhiva menyapa dari arah pintu kamarnya yang baru saja terbuka. Iya benar, Azhiva sudah rapi dengan celana bahan berwarna cream seperti biasa dan tak lupa hoodie hitam bercorak putih. Disaat yang sama, Reva juga keluar dari dalam kamar sambil menyeret tas sekolahnya.

Azhiva sempat tersenyum pada Reva, meski gadis itu membalasnya dengan wajah malas. Maklum, gadis ini masih saja marah dengan persoalan mereka yang lalu itu. Seorang Revasha kan memang sulit memaafkan, keras kepala pula.

"Pagi Reva," sapa Azhiva sembari mencoba untuk merangkul adik bungsunya, namun sayang, tangan Reva lebih dulu menjauhkan lengan Azhiva dari pundaknya. "Apa sih, kak?"

Reva berlalu cepat dari dekat Azhiva, menaruh tas nya di sofa kemudian menghampiri Cethava dan Marissa. Azhiva hanya menggeleng sekilas dengan kelakuan Reva, sudah biasa, sejak kecil memang anak ini kalau sudah marah akan lama. Azhiva sudah terlalu sering memakluminya.

"Reva lapar Kak Thava."

"Lah, ini mau dimakan sekarang atau dibawa aja?" kata Cethava.

"Issa di bawa aja kak, Issa belum mau makan."

Pelangi Tanpa Warna | end.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang