Semua fakta mengenai kebusukan keluarga Pratama satu per satu telah kuterima dengan jelas. Catra membawa Aditya ke apartemennya setelah akhirnya diizinkan pulang, dan pengobatan Aditya akan dilakukan di luar negeri, keputusan final dari Catra yang sama sekali tidak bisa diganggu gugat. Catra sangat terikat dengan Aditya, tak ingin berjauhan darinya, sesuatu yang sangat langka terjadi, bahkan aku merasa hal ini menunjukkan sisi berbeda dari dirinya.
Aku duduk santai, dengan kedua kaki kuletakkan di meja, memperhatikan Catra yang sedang menyuapi Aditya. Aku sempat terkejut melihat adegan ini. Selama aku mengenalnya, Catra belum pernah menunjukkan perhatian seperti ini pada siapapun, apalagi padaku. Biasanya, dia hanya khawatir pada diriku, namun kali ini, jelas sekali dia berbeda saat bersama Aditya.
"Pih, sudah aku kenyang," tolak Aditya dengan lembut.
"Baru satu piring, nak. Tambah lagi ya," bujuk Catra, tetap bersikap perhatian.
"Aku biasanya makan sedikit saja, Pih," jawab Aditya.
"Pantas saja badanmu cungkring begini. Papi akan pastikan kamu lebih berisi, soalnya menurut dokter, kamu kekurangan gizi, nak," jawab Catra dengan nada serius.
"Berasa nyamuk keberadaan gua di sini," sindirku, merasa sedikit terabaikan.
"Aku tidak menyuruhmu datang ke sini, Ello. Lagipula, Aditya tidak menanyakan keberadaanmu sama sekali," jawab Catra ketus, tanpa menoleh ke arahku.
"Galak amat, Pih. Pantas sampai sekarang masih duda," ledekku, mencoba memancing reaksi darinya.
Tiba-tiba, Catra melemparkan sendok ke arah keningku. Aku tak bisa menghindar, dan sendok itu berhasil mengenai keningku hingga terasa sedikit nyut-nyutan. Catra melengos pergi, tampak tidak bersalah sama sekali.
Catra benar-benar menjauhkan diri, memberiku kesempatan langka untuk berbicara lebih banyak dengan Aditya. Aditya baru saja keluar dari rumah sakit dua hari yang lalu, dan selama itu aku hanya bisa sedikit berbicara dengannya.
"Bagaimana?" tanyaku, memulai percakapan.
"Abang kebiasaan berbicara seperti itu," keluh Aditya dengan nada lelah.
"Papi sikapnya bagaimana?" aku mengulang pertanyaanku barusan.
"Sangat overprotektif padaku. Sikap protektif ayah saja kalah dibandingkan papi. Dia menjagaku seolah sebuah berlian yang akan hancur apabila ditinggalkan," jawab Aditya, menekankan betapa berlebihannya perhatian Catra terhadapnya.
"Senang?" tanyaku, ingin mengetahui perasaan Aditya lebih dalam.
"Banget, bang. Aku memang sudah merasakan kasih sayang dari ayah dan bunda, tapi entah mengapa itu belum menutupi lubang di hatiku. Saat papi mengatakan aku anak kandungnya, ada sedikit rasa lengah di hatiku," ucap Aditya dengan nada penuh keraguan.
"Selama ini kau merasakan perbedaan fisik yang cukup jauh melihat fisik keluarga Pratama, ya?" tanyaku, mencoba menyelidiki lebih dalam.
"Benar. Mataku berwarna cokelat sementara mereka hitam. Aku pernah berpikir positif, mungkin saja fisikku mirip ibuku, namun setelah kulihat, ternyata sangat berbeda juga," jawab Aditya, mengungkapkan kebingungannya.
"Lalu kenapa tidak mencari?" tanyaku, penasaran mengapa Aditya tidak mencari tahu lebih jauh.
"Dulu pikiranku terlalu naif, bang," jawab Aditya, menyesali ketidakpeduliannya di masa lalu.
"Kau tahu kan mengenai anak baru di keluarga Pratama itu?" tanyaku.
"Tahu. Dia diperlakukan layaknya sebuah permata," ucap Aditya dengan nada sedih.

KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi Ello (END)
General FictionOthello Pranaja Zayan, atau yang lebih akrab dipanggil Ello, adalah seorang pemuda berwajah tegas dengan sifat dingin, minim ekspresi, dan benci terhadap pengkhianatan. Meskipun tumbuh di tengah keluarga yang harmonis, sifat dingin Ello tak pernah b...