03. Debate
"Kita buat perjanjian."
Jane berjalan mendekat ketika El Javas mengurungkan niatnya untuk mematik sebatang nikotin yang terlanjur ia apit di bibirnya. Menantangnya dengan tatapan keji, tak lantas membuat Jane segera melarikan diri. Yang ada, ia membawa pematik itu lantas membuat sebatang rokok milik Javas mulai menyala.
"Berlaku sesuka lo, dan izinin gue buat tinggal berdua cuman sama Zia. How about it, Javas? Atau ... Cukup dengerin apa kata gue."
Kepulan asap di balkon apartemen itu semakin tebal, di sana El tampak berpikir dengan sebatang rokok yang setengah tandas ia hisap, "She is my daughter," El menoleh pada Jane, "Gue juga berhak bertemu dan mengurus dia, kan? Kenapa sekarang lo bersikap seolah-olah gue gak punya hak untuk itu?"
"Okay." Jane tersenyum. "Okay, she is your daughter. But your daughter needs a stable life—"
"What!?" El terperangah konyol. Ini terdengar sedikit menggelitik. Apa katanya? Hidup yang stabil untuk Zia? Bahkan El sanggup untuk memberi daripada yang bisa dia beri. Mengerti kan, maksudnya? "Lo lagi bercandain gue?"
"Begini. Jangan berlaku sesuka lo demi mental anak gue—"
"Anak gue."
"Ck. Ngerti, kan? Sekarang bisa aja lo cuman ketemuin Zia sama—siapa itu? Prayamosa? Iya, itu. Lama-lama lo bisa kenalin cewek lo sebagai siapa ke anak gue? Ibu? Oma? Atau buyut?"
"Dia cuman bayi, santai aja kali." Javas mendengus.
"Dia emang bayi, tapi beberapa waktu lagi mungkin Zia bakalan ngerti. Ingatannya mulai berkembang baik. Please consider this for our daughter, El."
Lelaki itu berdecak, tepat ketika batang kedua dari rokok itu ia hisap. "Lo nggak usah berlebihan, Jane. Gue cuman bawa Zia buat makan siang bareng Raya. Dimana letak merusak mentalnya?"
Sebentar, kali ini Jane sudah menghembuskan napasnya dengan kasar. Yang berarti, perempuan itu sudah tidak bisa lagi menahan kekesalannya.
Sejak ia melihat atensi Javas dengan seorang perempuan, Jane merasa amarahnya tidak bisa dikendalikan. Bukan, bukan karena El melupakan janjinya untuk menemani Jane bertemu dengan Airin siang itu—melainkan karena disana juga ada Zia yang berada di pangkuan Raya. Dan apa yang membuat perempuan itu benar-benar tersulut emosi? Entah apa yang ada di pikiran dua manusia itu, tapi ketika Jane disana, ia juga melihat Zia menangis-nangis tapi mereka malah sibuk tertawa-tawa entah menertawakan apa. Itu terlalu menguras emosinya. Bahkan seketika, dengan segera Jane mengambil alih putrinya dari tangan perempuan yang belum sempat memperkenalkan dirinya itu.
"Lo gila."
Dan itulah satu-satunya yang keluar dari mulut Jane.
"Dan lo cemburu?" El sepakat untuk mendebat perempuan itu. Dengan sebelah tangannya, ia mampu mengubah posisi perempuan itu menjadi terduduk tepat pada kursi dekat pintu balkon. El menjulang tinggi dari pandangannya, lelaki itu membawa dagu Jane dengan jari telunjuknya hingga perempuan itu menengadah. "Kenapa akhir-akhir ini lo suka banget ributin hal-hal yang nggak jelas kayak begini? Lagi cemburu atau ngasih aba-aba mau ninggalin gue lagi?"
Jane menyentak kepala, bahkan hingga jari lelaki itu menjauh dari sekitaran wajahnya. "Kapan gue ninggalin lo?"
"Lo nggak ninggalin gue, lo ngebuang gue."
"Dan lo jadi sampah?"
"Sayangnya nggak. Gue tetap berharga buat orang-orang yang bersyukur punya gue. And I'm sure those people are Zia and Prayamosa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Sunday.
Fanfiction[Jeno ft. Karina] Jane just wants to be waited on like a Sunday, and well-loved by the Javas. © kayveilee 2022, Written in Bahasa.