01. Welcome home, Jane!
"Kamu pulang besok, kan?"
Jane meletakkan gelas berisikan sedikit air putih itu ke atas wastafel. Tubuhnya masih memakai bathrobe lengkap dengan kepala yang terbalut handuk kecil. Anak itu berdiri persis membelakangi Airin, ibu kandung Jane. Helaan napas panjang dia hembuskan pelan-pelan. Matanya sempat terpejam tepat sebelum dia membalikkan badan.
"Hm. Mau dijemput El." Jane berkata sekenanya. Lantas, dia meninggalkan ruangan itu seraya melepas kedua tali pengikat handuk yang dia kenakan. Anak itu bulat untuk memasuki kamarnya.
Belum cukup merecoki waktu istirahat putri semata wayangnya itu, tiba-tiba Airin beranjak dan mengikuti langkah Jane. "Jangan nyusahin El. Apa-apa ngandelin dia. El juga punya kesibukan."
"Selama dia nggak keberatan," Jane mengendikkan bahu. Dia sebenarnya berbohong, jelas sekali.
Airin berdecak, "Kenapa kamu jadi jauh banget sama Mama?" Tatapan ibu itu nyalang.
"Perasaan Mama doang."
"I'm serious, Jane, you really stay away from me," wanita itu mengerang mengacak tatanan rambutnya yang sudah tak serapi pagi tadi. "Kenapa? Mama selalu mengusahakan yang terbaik buat kamu tapi—how can you repay all my kindness in this way? Kalau soal anak itu—"
"Stop saying something you hate, Ma." Di detik itu, Jane batal menikmati malam terakhirnya di Singapura. Semua bayang-bayang tentang malam yang menyenangkan dan waktu istirahat yang panjang itu seketika berantakan. Menatap Airin dengan sorot yang keras, air wajahnya terlihat memanas. "Aku berusaha membalas semua yang Mama kasih, bahkan jauh lebih banyak dari apa yang aku terima. Jangan pernah bahas apapun lagi. Please. Dan berhenti buat benci sama keluarga El, apalagi Zia. They don't deserve it."
Airin terkekeh tidak percaya. Kepala perempuan itu menggeleng kecil dengan tangan yang berusaha menutup pintu kamar. Dan jelas. Dalam waktu yang cepat Jane melihat dan mendengar suara pintu itu tertutup sempurna.
"Ingrid Kamila. Nama itu pemberian Papa kamu. Daripada Ingrid Kamila, Mama punya nama yang jauh lebih bagus dari pada itu. Mama mengumpulkan nama kamu bahkan sedari Mama tahu kalau Mama akan punya anak perempuan yang lucu," Airin berjalan mendekati gadis itu. Sementara Jane, dengan langkah kecil yang pasti, dia berjalan mundur menghindari mamanya. "Tapi Papa kamu nggak pernah setuju dangan nama yang Mama pikirkan. Satupun tidak ada. Dari banyaknya nama yang Mama kasih, dia hanya suka dengan nama Jane, itu saja. Mama mengalah. Terlalu banyak hal-hal kecil yang berakhir menjadi perdebatan antara Mama dan Papa kamu."
Deru napas Jane memburu. Kian terasa bahwa punggunya kini semakin menyatu dengan tembok di belakang. Perasaan dingin yang mengulitinya membuat lutut gadis itu terasa semakin melemas. Dan disaat itu juga, jaraknya dengan Airin sudah tak berarti lagi.
"Mama nggak pernah menyangka, kalau ternyata segala hal yang berkaitan dengan kamu adalah perdebatan. Setiap perdebatan yang terjadi antara Mama dengan siapapun, selalu ada nama kamu di dalamnya. Lihat aja?" Wanita itu tertawa putus asa. "Di depan Mama, kamu masih ngebela orang yang nggak pernah mati-matian ngelahirin kamu. Yang nggak pernah berdarah-darah cuman buat masa depan kamu. Buat apa? Anna, David, dan El nggak pernah membantu apapun, Jane. Mereka cuman sebagian orang yang cuman numpang lewat di hidup kamu. Sementara Mama?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Sunday.
Fanfiction[Jeno ft. Karina] Jane just wants to be waited on like a Sunday, and well-loved by the Javas. © kayveilee 2022, Written in Bahasa.