06. They Were Running

1.3K 157 24
                                    

06. They Were Running.

Yang pertama kali Jane pikirkan ketika mendengar bahwa dirinya akan di kirim ke Jepang adalah; dia akan hidup di pusat kota dengan segala fasilitas yang disediakan Airin. Tapi nyatanya, alih-alih hidup tenang dan nyaman, Jane malah akan hidup di sebuah desa yang terletak amat jauh dari hiruk-pikuk kehidupan seperti di pusat kota Tokyo atau Osaka.

Ini benar-benar pelosok desa.

Jauh dari keramaian, lalu-lalang kendaraan, restoran-restoran mahal yang terkenal, atau pusat perbelanjaan yang kerap kali Jane kunjungi setiap dia datang ke negara ini. Di tempatnya berdiri, Jane hanya menyaksikan pohon-pohon yang rindang saling bergoyang, pun suara gesekan antar dedaunan ikut bersahut-sahutan. Ditambah, orang-orang yang masih setia berjalan kaki menyusuri pinggiran jalan di desa itu, menambah kesan asri yang menenangkan. Tapi tak ayal, beberapa bapak-bapak tua masih kuat mengayuh sepedanya.

Jane menghela napas. Ini terlalu jauh dari ekspektasi perempuan itu.

"Rel, lo serius tega ngebiarin gue tinggal di sini? Ini pelosok, loh." Jane menoleh ke sampingnya. Tepat pada keberadaan Karel yang memang ditugaskan untuk mengantar perempuan itu.

Karel mengangguk, dia menatap penuh perasaan iba pada Jane. Dalam pikirannya, apakah perempuan itu bisa hidup di tempat ini tanpa fasilitas apa-apa?

"Udah, ayo. Rumah yang akan lo tinggalin selama satu minggu ke depan ada di ujung jalan ini. Katanya sih deket sama panti asuhan, dan siapa tau itu bisa ngebantu lo biar nggak terlalu kesepian selama di sini. Ayok."

Untuk yang kesekian kalinya, Jane menghela napas. Tapi tak lantas membuatnya mengurungkan niat, perempuan itu tetap berjalan mengekori Karel yang sibuk menarik koper-koper milik Jane. Karena merasa kasihan, akhirnya ia mengambilkan satu koper paling kecil dari tangan lelaki itu.

"Jangan bilang kalo sebenarnya gue ini di buang di sini, Rel."

"Ck. Ingrid. Lo cuman perlu anteng dan hidup tentram di sini. Di Indo terlalu chaos buat lo tinggalin. Sementara ini kok. Tenang aja."

"Tetep aja. Nanti kalo gue gabut gue ngapain? Maksudnya mobil aja nggak ada, Karel. Di sini juga ngga ada apa gitu cafe atau resto? Gimana mau hidup tenang, nyaman, tentram atau apalah itu namanya kalo begini ceritanya."

"Aduh, Jane!" Karel mendelik. Langkahnya semakin melambat hanya untuk menyesuaikan dengan langkah kaki perempuan di sebelahnya ini, "Kita baru dateng, loh. Lo belum explore aja di sini. Nanti juga ketauan letak nyaman dan amannya bagian mana. Di sini banyak tempat wisata, tau."

Jane berdecak kesal, "Bodo, deh. Makin berjaya aja lo nantinya kalo gue nggak ada."

"Ya nggak begitu, Ingrid. Udah, deh. Nurut aja."

••

"... demi Tuhan, Karel Helio!"

Kedua orang yang kini berdiri persis di halaman sebuah rumah yang katanya akan ditinggali oleh Jane selama beberapa waktu ini terdiam saling bertatapan. Karel merasa jika rumah itu terlalu kecil untuk ditempati seseorang seperti Ingrid Kamila Jane. Maksudnya, tempat ini hanyalah sepetak rumah yang terletak di ujung jalan dengan pohon-pohon berukuran cukup besar tumbuh di sekitaran rumah itu. Dan tak jauh dari sana, ada sebuah gedung — lebih tepatnya bangunan dua tingkat dengan cat berwarna putih minimalis yang telah usang di makan usia. Benar bahwa bangunan itu sebuah panti asuhan. Karena sejak mereka berdua sampai, yang mereka dapati di sekitaran lingkungan itu hanyalah lalu-lalang anak-anak dan keberadaan sungai yang terletak tepat di belakang panti dan juga rumah sementara Jane.

Another Sunday.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang