Enam

49.2K 5.7K 391
                                    

Saat senja memayungi dunia, begitu banyak mata yang mengagumi warna-warnanya. Seakan lupa, pada matahari yang tanpa lelah menyinari bumi. Walau sekejab mata, senja dianggap terlampau istimewa bila menghilang begitu saja. Sapuan gelap memakan kemilaunya yang indah. Menyimpannya dalam selimut malam yang menghadirkan rembulan dan bintang. Menyogok orang-orang supaya tak lagi mengutuk semesta. Memamerkan keheningan yang buat tenang. Lalu, buat mereka terbang dalam buai lelap.

Dan esoknya, ketika embun pagi menyebarkan kesejukkan. Makhluk fana yang mendiami dunia akan lupa pada kemilau senja yang memabukkan netra. Tetes-tetes kesejukkan, sejenak dapat membuai mereka dalam takjubnya menanti fajar. Sebelum kelak, dihajar teriknya bola raksasa yang benderang di langit siang.

Dengan kartu tipis di tangan, Oka berlari menuju ATM terdekat. Air mata yang menggenang di pelupuk, sengaja ia tahan. Ia tak akan menangis lagi. Ia harus menjadi laki-laki kuat ketika kedua perempuan yang paling berharga di hidupnya sedang terluka. Tenang saja, ia punya uang. Akan ia ganti ponsel itu segera. Bunda tak boleh direndahkan. Dan adiknya tidak perlu merasa bersalah.

Demi Tuhan, ia membenci ayahnya.

Lova boleh saja merindukan sosok itu, walau jauh di lubuk hatinya, ia pun merasakan hal yang sama. Namun, ia tak akan pernah mengatakannya. Sebab laki-laki itu sudah meninggalkan mereka. Apa pun alasannya, Oka enggan menerima. Beribu kali bunda mengatakan bahwa ayah mencintainya, Oka tak akan percaya.

Cinta seperti apa yang justru membuat mereka berpisah?

Cinta yang bagaimana, yang membuatnya yakin bahwa pria itu benar-benar sayang padanya?

Ck, kalau memang cinta, pria itu tak akan meninggalkan mereka.

Well, setidaknya itulah arti cinta yang Oka percaya. Sebab bunda, memang tak pernah ke mana-mana. Bunda selalu ada bersama mereka. Cinta yang bunda berikan terlampau nyata. Dan cinta seperti itulah yang Oka percaya.

Tetapi kali ini, ia tidak punya pilihan.

Menatap kartu tipis di tangan, Oka menelan ludah.

Matanya tiba-tiba saja memanas.

Semenjak bunda menyerahkan kartu ini tiga tahun yang lalu, tak pernah ada keinginan tuk menggunakannya. Mesti sang bunda selalu mengatakan, bahwa di dalam sini terdapat nafkah yang terus dikirimkan ayah setiap bulan semenjak perpisahan mereka. Namun Oka, terlampau kecewa tuk sekadar memilikinya.

Tetapi kini, ia tak punya pilihan. Ia akan menarik sejumlah uang. Ia harus mengganti ponsel sepupunya yang rusak. Walau adiknya memang tak sengaja melakukan, namun Oka terlalu lelah melihat bunda terus disalahkan.

"Ini punya kalian," Nada memberikan sebuah kartu yang selama ini ia simpan. "Ayah selalu kirim uang ke sini setiap bulan," ia tatap kedua buah hatinya bergantian. "Selama ini, Bunda belum pernah pakai uang ini. Tapi, karena sekarang kalian udah cukup besar. Jadi, Bunda perlu bilang ke kalian, kalau di sini ada uang kalian."

Oka menerimanya.

Tapi, Ia belum mengatakan apa-apa.

"Abang mau beli sepeda baru 'kan? Abang bisa ambil uang yang dikirim ayah di situ," ia sentuh wajah sang putra. Beralih kepada anak perempuannya, Nada menarik tangan Lova untuk digenggam. "Adek mau beli hape buat daring 'kan? Biar hapenya nggak barengan sama Abang. Nah, Adek juga bisa beli kok. Kalau Abang sama Adek setuju, ayo, kita ambil uang dari ayah dan beli apa yang Abang sama Adek butuh."

Kedua anak kembar itu terdiam.

Mereka bertiga berada di kamar. Belum waktunya tidur, tetapi tadi Nada memang meminta anak-anaknya masuk terlebih dahulu demi menyerahkan kartu debit tersebut pada putra dan putrinya.

Aksara SenadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang