Dua Puluh Satu

48.5K 6.4K 221
                                    


Happu reading yaa

Rumah itu mulai ia bangun dua tahun yang lalu.

Namun, ia telah membeli tanahnya sejak lama. Mengumpulkan sepertiga gajinya dan bonus-bonus yang diberikan kantor, akhirnya Aksa berhasil membeli tanah yang cukup luas di kawasan perumahan yang menurutnya paling strategis.

Tetapi, ia belum bisa langsung membangun rumah saat itu. Ia memilih melunasi apartemen yang ia tinggali sekarang ini. Sebelumnya, apartemen tersebut milik kakak laki-lakinya. Mas Akthar mulai mencicil ketika bekerja sebagai pengacara di firma hukum milik om Sahrir. Dan ketika Mas Akthar meninggal, Aksa yang meneruskan. Bukan apa-apa, apartemen itu memiliki kenangan berharga baginya.

"Taraaaa ... kalian tinggal di sini, ya?"

Akthar membuka lebar pintu apartemennya. Ia menyingkir dari sana sambil membawa dua koper besar milik adiknya.

"Kontrakan kalian nggak sehat. Tetangga kanan kiri pada ngerokok gitu. Kasihan dong ponakan kembar gue nanti, masa harus kena imbas para perokok itu. Jadi, mending kalian tinggal di sini, ya?"

Aksa masuk ke dalam sembari menggendong salah satu anaknya. Di belakang, ada Nada yang tampak melangkah ragu. Tetapi Aksa, berhasil meyakinkan istrinya. "Ini apartemen siapa, Mas?" tanya Aksa sambil mengedarkan pandangan ke seluruh apartemen yang masih kosong. Hanya ada sofa bed dan karpet yang membentang di area living room. Televisi berukuran besar, menempel di dinding. Ada dua kamar yang terlihat di sana. Lalu, ada sekat mengarah ke arah dapur.

"Apartemen gue dong," ujar Akhtar merasa bangga. "Tapi, ya, masih nyicil," ia tertawa. "Gimana, Nad?" ia alihkan perhatian pada adik iparnya yang sedari tadi diam. "Mau 'kan, tinggal di sini? Tenang aja, gue nggak bakal ngerecoki kalian kok."

Nada terlihat kikuk. Ia meringis tipis sambil mengusap punggung anaknya pelan. Bayi-bayinya baru berusia dua minggu. Dan sejak mengantar mereka pulang ke kontrakan hari itu, Mas Akthar terus saja berkomentar tentang tidak sehatnya lingkungan tempat tinggal mereka. Dan kemarin, Mas Akhtar meyakinkan mereka untuk pindah dari sana. Katanya, dia sudah menyiapkan tempat tinggal yang lebih layak. Rupanya, tempat tinggal yang dimaksud oleh laki-laki itu adalah apartemen ini.

"Gimana, Nad?"

"Mas Akthar yakin, kami boleh tinggal di sini?" tanya Nada ragu.

Akhtar tertawa. Ia berjalan dengan gesture santai ke arah sang ipar. "Sini, biar Lova gue gendong," ia meminta keponakan perempuannya berpindah ke gendongannya. Pelan-pelan, ia menerima bayi mungil itu. Lalu, melangkahkan kaki menuju salah satu pintu kamar. "Sini, Nad, tolong dong bantuin bukain pintunya."

Sambil menatap sang suami, Nada akhirnya menuruti permintaan sang ipar. Ia bukakan pintu itu dan mendorongnya ke dalam. "Ya, ampun, Mas," serunya seketika. "Mas Akhtar yang nyiapin ini semua?"

Karena di dalam sana tak hanya ada ranjang besar yang membentang. Melainkan dua box bayi dengan warna biru dan merah muda yang bersebelahan. Ada juga sofa menyusui berwarna abu-abu tua yang letaknya tak jauh dari box bayi itu. Tanpa sadar, Nada melangkahkan kakinya makin ke dalam. Ternyata, kamar ini dilengkapi oleh walk in closet juga. Walau tidak terlalu luas, entah kenapa Nada merasa tempat ini begitu pas.

"Suka nggak, Nad?" Akthar kembali menanyai adik iparnya.

"Lo yang nyiapin semua ini, Mas?" Aksa dibuat tak bisa berkata-kata oleh kakaknya. "Mas?"

"Gue patungan sama Arti," Akhtar menyebutkan nama saudara kembarnya. "Dia minta maaf karena nggak bisa nyambut elo di sini. Bulan-bulan ini dia juga lahiran. Si Nino 'kan, overprotective banget ngejaga Arti."

Aksara SenadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang