Dua Puluh Empat

51.3K 7K 488
                                        

Pada langit yang tertutup awan, matahari memberikan seberkas sinarnya yang terang. Bukan ingin memamerkan kesombongan, sang bola cahaya itu hanya enggan bumi menjadi tempat yang gelap. Dan untuk gemintang yang menggantung di waktu malam, bukankah si kecil itu pun punya peranan?

Ya, mereka berkelompok demi menemani rembulan berjaga. Memastikan manusia yang bermukim di dunia, terlelap nyaman dalam dekap selimut hangat. Lalu, saat mentari pagi mulai menyinari bumi, embun menyambutnya dengan sejuk yang menyemarakkan hati.

Astaga, indahnya lapis semesta membungkus putaran dari masa ke masa.

Namun saat ini, matahari telah meninggi. Sinarnya tak lagi berupa berkas-berkas indah yang memanjakan mata. Teriknya telah menyengat kepala. Mematik emosi. Membangkitkan amarah. Dan Aksa adalah salah satunya.

"Mami, Lova nangis! Om Aksa, Oka mau berantem!"

Teriakan itu bersumber dari Jordan.

Dan tangis anaknya terdengar kala kayuhan langkah mulai menapaki rumput hijau di sisi bangunan rumah utama keluarganya. Sayup-sayup, ia dengar pelan ucapan sang putra di antara isak putrinya yang menyandra telinga.

"Dek?" ia panggil anak perempuannya begitu kaki-kakinya mendekat. "Adek kenapa?"

"Papa!"

Aksa menghela, saat rupanya Adiva pun ada di sana. "Diva, Kakak Lova kenapa?"

Adiva cemberut, namun Aksa tak membujuknya. Barulah, ketika ia tepat berada didekat anak-anaknya, ia menyentuh kepala sang putri dan mengusapnya pelan. "Kenapa, Dek?" tanyanya kembali. Lova tak memberi tanggapan. Lalu, ia mencoba menanyakan hal serupa pada Oka. Dan lagi-lagi, tak ada yang mau menjawab pertanyaannya. Jadi, ia putuskan bertanya langsung pada satu-satunya orang dewasa yang berada di sana.

Anyelir Pratista.

Iya, tentu saja.

Apalagi melihat wajah wanita itu yang tak bersahabat, ia yakin Anye yang membuat anaknya menangis.

"Ada apa ini, Mbak? Kenapa Mbak bikin anakku nangis?" tanyanya dengan rahang mengerat. "Setelah nggak berhasil nyerang aku, Mbak beralih buat nyerang anak-anakku?" tuduhnya langsung. Tak ada ekspresi ramah di wajahnya lagi. "Mbak Anye masih waras 'kan? Mbak Anye sadar nggak kalau Mbak Anye lagi nyerang anak kecil?"

"Kamu nuduh aku gila!" seru Anyelir makin geram. "Semenjak resmi bercerai, kamu makin kasar sama aku, ya, Sa? Kenapa? Udah merasa hebat sekarang?"

"Mbak Anye," Aksa menarik napasnya panjang. Ia eratkan rangkulan pada bahu anak perempuannya. Sementara sebelah tangannya yang lain, menarik anak laki-lakinya agar berada di sisinya. Lalu, ia pun menggenggam tangan putranya itu. "Sebelum emosiku menghilangkan hormatku, tolong, jaga sikap," ia memperingatkan sungguh-sungguh. "Kita udah nggak punya hubungan apa-apa. Aku udah selesai dengan tanggung jawabku," imbuhnya tegas.

"Aksa!" Anye berseru geram.

"Berhenti ngelakuin apa pun yang berpotensi ngebuat aku harus menghancurkan semuanya," pendar matanya menghujam tajam. Berharap Anyelir paham, bahwa apa yang ia katakan bukan gertakan semata. "Aku udah pernah kehilangan semua. Jadi, kalau sekali lagi aku mengalaminya, aku nggak masalah. Tapi, apa Mbak Anye yakin bisa survive kalau keadaan itu berbalik?" tantangnya sengit. "Apa Om Rangkuti, bakal baik-baik aja, kalau namanya tercoreng?"

"Kamu ngancem aku?!"

"Nggak. Aku cuma berusaha mempraktekan semua yang berhasil kupelajari dari Om Rangkutim," balasnya penuh sarkas.

Anyelir langsung mencebik.

Berusaha bersikap tenang, ia selipkan anak rambut yang berterbangan di belakang telinga. Matanya menatap nyalang seorang Aksara Bhumi dengan kejam. Tak peduli bahwa halaman luas ini menjadi kian ramai akibat beberapa derap langkah yang mengikuti ketika Aksa tiba. "Kenapa sekarang kamu hobi nuduh aku macem-macem sih, Sa?" tatapnya kemudian menyelidik pada anak perempuan Aksa yang memandangnya dengan simbahan air mata. "Kamu marah karena tiba-tiba anak kamu nangis 'kan? Terus, apa aku nggak boleh marah, karena waktu itu, anak aku juga tiba-tiba nangis?"

Aksara SenadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang