Delapan

48K 5.5K 217
                                    


Ajakkan Lova yang impulsif itu nyatanya disetujui Oka dengan mudah. Tanpa banyak berdebat Oka menyanggupinya. Namun, tidak di siang itu juga. Mereka butuh rencana. Karena, perlu perjalanan selama 2,5 jam untuk sampai di kota di mana ayah mereka tinggal dan menetap.

"Jadi, kita beneran bolos, Bang?" Lova berbisik di sela-sela sarapan. Bunda berdiri di depan sink untuk menyuci peralatan masak yang kotor. Jadi, mereka harus ekstra berhati-hati dalam bicara. Bahkan seharusnya, Lova diam saja dulu. Namun, ya, namanya juga perempuan, pantang diam bila sudah ada keperluan. "Bang?" panggilnya tak sabar.

Oka menatap adiknya tajam, sambil mengunyah ia beri pelototan pada gadis itu. "Bisa diem dulu nggak?" desisnya pelan. Melakukan kerja sama dengan Lova pasti berisiko ketahuan. Namun, karena hanya gadis itu satu-satunya saudara yang Oka punya, mau tak mau ia harus tahan. "Masih ada Bunda," bibirnya menipis ketika menambahkan.

Cemberut, Lova mengibaskan rambutnya yang panjang. "Bun?"

"Iya, Nak?"

"Bunda kerja nggak hari ini?"

Kegiatan Nada dalam mencuci wajan terhenti sejenak. Ia membalikkan tubuh dan menatap sang putri. Sebenarnya, itu adalah pertanyaan biasa. Tetapi dapat berubah layaknya pecut yang mengagetkan, ketika ada dusta yang tercipta. Dan Nada nyaris menahan napasnya. Namun, setelah berhasil menguasai diri ia pun melempar senyum. "Kerja dong," bohongnya karena belum dapat berkata jujur pada anak-anaknya. Ia hanya tak ingin mereka khawatir. Ia akan mengusahakan mendapat pekerjaan secepatnya. "Kenapa, Sayang?"

"Nggak apa-apa, Bun," Oka yang menjawab demi memutus racauan Lova yang bisa membuat mereka ketahuan. "Nanti, kalau Abang sama Adek pulang agak telat, berarti kita ada kegiatan di sekolah, ya, Bun," Oka mulai merajut kebohongan serupa. Ia juga melakukannya supaya bunda tidak mengkhawatirkan mereka. "Sebentar lagi hari Sumpah Pemuda, Bun. Rencananya, kita upacara di hari itu."

"Iya, Bun," Lova ikut-ikutan menyahut. "Kemarin, Adek ngajuin diri buat yang ngebaca teks Sumpah Pemuda. Tapi nggak tahu sih, entah kepilih atau nggak," ia menutup penuturannya sambil tersenyum. Lalu melempar pandangan ke arah sang kakak. Ingin sekali mengatakan, bahwa ia pun bisa diandalkan. "Abang tuh selalu ngeremehin Adek lho, Bun. Nggak percayaan banget sama Adek."

"Ya, karena memang kamu nggak bisa dipercaya," sambar Oka menatap adiknya malas. "Bun, pokoknya hari ini, Abang sama Adek pulangnya telat, ya, Bun?" ia haturkan permohonan maaf tanpa suara. Lewat mata yang memandang redup, Oka mencoba melebarkan senyumnya.

"Oke, yang penting pulangnya tetap bareng-bareng sama Adek, ya, Bang? Abang jangan pulang sama temen-temennya. Adek juga jangan sok pulang-pulang sendirian."

"Siap, Bunda!" seru keduanya kompak.

Mereka tahu bunda juga sedang berbohong. Bunda yang akan keluar pagi ini, bukan untuk bekerja. Justru, bunda tengah berjuang mencari pekerjaan. Namun apa pun itu, mereka tak mempermasalahkan. Bunda berdusta bukan tuk bersenang-senang. Bunda hanya tak ingin mereka sedih. Dan itulah yang membuat mereka semakin mencintai ibunya.

"Dek, jangan lupa bawa jaket atau sweater," Oka mengingatkan.

Lova mengangguk mengerti. Kakaknya itu, sudah mengatakannya sejak kemarin malam. "Abang juga udah bawa uang banyak 'kan?"

Mereka tak jadi membeli tas dan sepatu, jadi uang itulah yang akan mereka bawa hari ini. Perjalanan mereka nanti, bukan perjalanan penuh haru dalam mencari keberadaan sang ayah. Mereka pernah bertemu ayahnya. Walau setahun sekali, hal itu tak mungkin membuat mereka lupa wajah sang ayah. Hanya saja, mereka sedang melakukan sebuah kenekatan kali ini dengan datang sendirian ke sana entah untuk apa.

Aksara SenadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang