Semesta tak pernah berbuat jahat. Hanya terkadang, manusia saja yang tak terlalu kuat. Layaknya malam yang tak selalu kelam, garis takdir pun tak selamanya kejam. Seperti berjalan di antara dua sisi mata pisau yang tak terlalu tajam, namun walau bagaimanapun juga, tergelincir tetap menyisahkan ruam.
Aksa tahu, ia telah menoreh luka. Ia paham, sedalam apa buah hatinya tersiksa. Namun yang tidak ia ketahui, seputusasa itulah anak-anaknya. Mengarungi dunia yang tidak baik-baik saja. Dengan kedua orangtua yang berpisah, mereka mencoba beradaptasi dengan keadaan yang pincang.
Oka tak pernah menunjukkan emosi apa-apa sebelumnya, dan Lova tak pernah menangis di depannya. Tetapi kini, kedua anaknya tersebut menunjukkan diri mereka yang sebenar-benarnya. Memperlihatkan padanya, sehancur apa hati mereka. Yang selama ini berhasil mereka simpan, namun hari ini mereka tampilkan.
Sebagai pengacara, ia terlampau mahir membela klien-kliennya. Tetapi sebagai seorang ayah, ia tak mampu berkata-kata. Ia kalah, pada tiap dakwaan yang dituduhkan sang putra. Ia tak berkutik, ketika tuntutan di mata sang putri membuatnya merana. Sudah dipastikan, bahwa hukumannya adalah penyesalan seumur hidup. Bila mati pun, hukuman gantung harus tersedia untuknya.
"Ayah bebasin Diva meluk Ayah sesuka hatinya," bibir-bibir bergetar Lova mulai bicara. Ia keluarkan semua uneg-uneg yang mengganjal dalam jiwa. "Diva bisa cium Ayah tanpa ngerasa malu atau segan, tapi kenapa Adek nggak bisa, Yah?" cicitnya tersiksa. Ia tak lagi mampu duduk dengan tenang. Walau kakinya gemetaran karena emosi yang coba ia tuang, Lova berhasil berdiri di sisi kakaknya. "Diva boleh ngakuin Ayah miliknya. Dia gandeng Ayah ke mana-mana. Tapi kenapa, untuk Adek, Ayah cuma punya satu hari yang tersedia?" Lova terisak hingga tutur katanya pun mulai terbata-bata. "Ayah datang ke sekolahnya buat ambil rapot, tapi kenapa Ayah nggak bisa lakuin itu juga buat Adek sama Abang?"
Lova tidak pernah membenci, hanya saja ia kerap iri.
Mungkin, kakaknya tidak peduli pada jejaring dunia maya. Namun ia paham dan begitu lihai berselancar di sana. Bersama teman-temannya, mereka membuat akun di Facebook. Tak ketinggalan, ia pun bermain di Instagram. Juga pernah ikut-ikutan teman sekelasnya, membuat konten-konten trend di Tik-Tok.
Ia mengikuti beberapa akun yang dimiliki keluarga ayahnya. Ia kerap mengunjungi akun-akun tersebut diam-diam. Dan dalam beberapa unggahan, ia selalu melihat Adiva bersama ayahnya. Berfoto bersama sang ayah. Mencium pipi ayahnya. Digendong dengan senyum cerah. Seolah-olah, hanya siswi sekolah dasar itu saja yang bisa memiliki ayahnya. Selama ini Lova hanya diam. Meski tiap kali melihat postingan tersebut, hatinya didera karam.
"Kenapa Ayah nggak cukup cuma punya Adek sama Abang aja? Kenapa Ayah harus ada dia juga di hidup Ayah?" Lova menghapus air matanya dengan percuma. Sebab berikutnya, deras yang menandakan perih itu mengalir tanpa henti. "Bunda bisa. Tapi kenapa Ayah nggak bisa?" ia menutup mata dengan kedua telapak tangannya. Tersedu di sana, ia tumpahkan tangis yang selama ini ia tahan. "Kenapa harus ada dia, Yah? Kenapa harus ada dia?"
Ia hanyalah anak kecil yang egois.
Bila memang ayah dan bunda tidak bisa bersama, tolong jangan ada anak lain selain ia dan kakaknya yang merasa ikut memiliki orangtuanya juga.
"Dek," Aksa merasakan pipinya sendiri basah. Ia menyentuh dada, lalu nyeri itu menusuknya kuat sekali. Rasa bersalah menggulungnya hebat. Penuturan anak-anaknya bak vonis hakim paling mematikan. Ia sekarat kala kelereng hitamnya memaku kedua anaknya yang terluka parah. Nelangsa itu menusuk bak belati yang terus menghunus sanubari. Buat langkahnya terayun payah demi berlutut di hadapan putra-putrinya. "Maafin, Ayah," ia menyentuh masing-masing satu tangan anak-anaknya. Lututnya telah berpadu dengan lantai sementara para buah hatinya sibuk menghindari tatapannya. "Ayah bersalah sama Adek sama Abang. Tapi, Dek, Ayah ini milik Adek juga. Adek bebas peluk dan cium Ayah, Nak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Senada
RomantizmMereka pernah bersama. Membangun rumah tangga berdua, sebelum kemudian berempat dengan anak-anaknya. Bahagia, sudah pasti di depan mata. Namun ternyata, segalanya tak mudah. Perceraian menjalani jalan tengah, yang diambil tuk meredakan masalah. Jan...