Tiga

52.1K 5.7K 86
                                    

Desas-desusnya sudah terdengar sejak beberapa hari yang lalu. Di mana, banyak petugas kebersihan dipekerjakan tiba-tiba. Pagar yang semula bercat kusam, sejak kemarin sudah berganti warna hijau cerah. Rumput-rumput di lapangan terpangkas rapi, hingga ornament-ornament yang tak pernah ada sebelumnya, mendadak menggantung di depan semua kelas.

Seolah-olah, sekolah ini tengah berbenah demi sebuah pencitraan.

Seakan-akan, sedang bersoleh hanya tuk mencari perhatian.

"Ada apa sih?"

Oka menatap Bagas—teman sekelasnya dengan wajah kesal. Saat ini, mereka sedang berbaris di lapangan. Kepala sekolah mendadak saja mengumpulkan semua siswa dan siswinya di lapangan. Ada pengumuman yang akan disampaikan. Padahal, hari ini bukan hari Senin. Tetapi hari Rabu, di mana kelas 7-1 harusnya melaksanakan olahraga di jam pertama. Namun demi mendengar ceramah sang kepala sekolah, mereka terpaksa harus memangkas jam pelajaran. "Dengerin ajalah," ia malas menjelaskan.

"Kan aku nggak dateng dua hari kemarin, Ka. Buta informasi nih. Kisi-kisi dong?" Bagas berbisik. "Lagian, ini kenapa sekolah kita tiba-tiba rapi banget gini sih? Bikin takjub aja," imbuhnya lagi.

Sebenarnya, Oka juga tidak tahu. Tetapi entah kenapa, ia sudah berfirasat. Keberadaan spanduk di gerbang sekolah dengan tulisan "Selamat Datang Drs. H. Amrullah Hidayat, M.Si" cukup membuatnya yakin bahwa apa yang ia pikirkan pasti benar. Kedatangan bakal calon pejabat daerah atau yang sudah menjabat, bukan sekali ini saja terjadi di sekolahnya. Terhitung lima bulan ia menjadi siswa SMP Negeri 1 ini, dan sepertinya sekolahnya telah tiga kali bersiap untuk menyambut pejabat-pejabat yang bertujuan sekadar memberi himbauan atau memantau proses belajar mengajar yang berlangsung. Padahal, mereka sudah tahu pasti semua tujuan itu hanya untuk mencari atensi.

Yang sedang Oka permasalahkan saat ini adalah, ia lupa memperingatkan adiknya. Bukan apa-apa, Lova terlampau sering bertindak gegabah dalam segala hal. Mempermalukan diri sendiri, adiknya itu terlalu mahir. Namun, Oka tidak mau menolerir bila dalam mempermalukan diri sendiri, adiknya itu justru akan terserang luka yang menyengat di hati.

"Ka?"

"Apa sih, Gas?" sahut Oka sekenanya. Ia mencoba menjangkau pandangan menembus kelas adiknya. Namun teramat sulit menemukan keberadaan Lova. "Kamu berisik banget," dengkusnya yang merasa makin kesal karena tak dapat melihat Lova di barisan.

"Siapa sih yang mau datang?" tadi Bagas sempat mendengar ketika kepala sekolah mengatakan bahwa akan ada yang mengunjungi sekolah mereka siang ini. Kepala sekolah meminta, agar para siswa tetap tertib dan menjaga kedisiplinan. Tidak boleh keluar dari ruang kelas sebelum jam istirahat. Bila ingin ke kamar kecil, harus bergantian. Tidak boleh bergerombol. "Ribet banget nih peraturan," gerutunya menguap. "Ck, emang anaknya presiden mau dateng, Ka?"

"Bukanlah," jawab Oka yang tak lagi berusaha mencari keberadaan adiknya. "Bakal calon Walikota. Biasa, nyari simpatisan masyarakat."

"Lha, serius?"

Oka mengangguk, lalu rahangnya mengeras.

Bagas terlalu cuek untuk menyadari perubahan ekspresi temannya. Remaja 12 tahun itu justru memutar kepala ke belakang. Memperhatikan seluruh penjuru sekolah. "Kampanye maksudnya? Emang kita udah boleh ikut pemilihan? Kok repot-repot ke sini?"

"Buat pencitraanlah, Gas. Kan diliput wartawan," sambar Zaki yang berdiri di belakang Oka dan Bagas. Tiap kelas, terdiri dari empat barisan. Dua baris perempuan dan dua baris untuk laki-laki. Oka dan Bagas berdiri bersebelahan. Sementara posisi Zaki ada di belakang Oka. Ia mendengar semua obrolan kedua temannya itu. "Kabarnya nanti, kita bakal dikumpulin di aula. Nggak semua sih. Tiap kelas diwakili sepuluh orang."

Aksara SenadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang