Sepuluh

52.9K 7.1K 648
                                    

Teriknya siang tak selamanya menyiksa. Kelamnya hari tak serta merta membuat gelisah. Selalu terselip berkah yang kadang-kadang tak disangka. Selayaknya malam gelap yang dihiasi bintang-bintang, seperti itulah semesta bekerja dalam hidup Aksa.

Di suatu siang yang tak pernah terbayang, ia menemukan kedua buah hatinya datang. Dentam ribut di dada mendadak berpesta, euforianya mengalahkan riuh kembang api di malam pergantian tahun. Tak terlukiskan. Mengejutkan. Walau ribuan tanya mengelanyut dalam benak, namun hakikat bertemu adalah menuntas rindu. Dan itulah yang Aksa rasakan.

"Abang bisa sendiri, Yah."

Aksa mendongak ke arah sang putra. Menyerahkan cotton bud yang telah ia celupkan dalam alkohol. Bangkit, ia tersenyum tipis. Mengacak rambut putranya yang lembab karena keringat, lantas memilih duduk tepat di samping anaknya yang sedang membersihkan luka akibat didorong oleh petugas sekuriti yang mencoba mengusir anak-anaknya tadi.

Astaga, mengingat pengaduan sang putri membuatnya kembali terserang emosi.

Walau ia sudah menumpahkan amarahnya pada petugas-petugas tadi, rasanya ia masih tak terima dengan perlakuan mereka yang sekasar itu.

Dan bila tadi anak-anaknya memutuskan pergi, Aksa yakin ia akan menyesal sampai mati.

"Lho, Bang, kok nggak dibalut lukanya?" Aksa sudah meminta kotak P3K diantar ke ruangannya. Dan di dalam kotak yang sudah terbuka di atas meja itu, terdapat kasa, kapas, plester dan berbagai bahan lainnya yang dapat digunakan untuk membalut luka. "Bisa infeksi kalau kena debu, Bang," tegurnya yang coba meraih kotak pertolongan pertama tersebut.

"Nggak apa-apa," Oka menyahut singkat. "Biar cepet kering," imbuhnya pelan. Matanya terus mengarah pada pintu ruangan sang ayah yang tertutup. Menanti dengan tak sabar kapan Lova muncul hingga ia tak perlu berduaan seperti ini dengan ayahnya. Tadi, adiknya diantar oleh bawahan sang ayah menuju toilet. Dan hampir dua puluh menit, Lova tak juga menampakan diri.

"Abang udah laper 'kan? Bentar lagi makanannya dateng, ya?" Aksa tahu anak laki-lakinya tak pernah nyaman dengannya. Melihat kegelisahan dari ekor matanya, Aksa mengerti yang diinginkan anak laki-lakinya adalah segera pergi. Biasanya, Aksa tak akan memaksa. Kebersamaan mereka yang hanya terjadi satu tahun sekali, membuatnya merasa tak pantas untuk menuntut lebih.

"Kalau mau ngobrol, nanti aja tunggu Adek," bukannya Oka bermaksud tak sopan. Dirinya memang tak mahir berbasa-basi. "Abang nggak tahu mau ngobrol apa sama Ayah."

Padahal, banyak yang bisa Oka ceritakan pada pria itu. Tentang pengalaman pertama mereka menaiki bus tanpa didampingi orang dewasa. Atau kisah mengenai perjuangan mereka untuk sampai di tempat ini. Seharusnya, tak ada momen sunyi seperti ini. Tetapi hal itu tentu akan terjadi bila mereka adalah sepasang ayah dan anak pada umumnya. Yang tinggal di satu atap yang sama. Dengan rutinnya pertemuan, hingga memori yang tercipta bukanlah benci yang melanda jiwa. Melainkan bahagia yang luar biasa.

Sayang sekali, hubungan mereka tak sedekat itu.

Jurang yang membentang terlalu lebar tuk diseberangi hanya dengan sebuah basa-basi.

Namun Aksa mengerti kondisi itu dengan sangat baik. Tak ingin memaksa meski nyatanya keinginan tuk memeluk mereka merajai jiwa. Dengan pemahaman seperti biasa, ia melapangkan hati seraya mengangguk. Ia tepuk-tepuk paha putranya dua kali, seraya bangkit meninggalkan sofa. "Kalau gitu, Ayah jemput Adek di toilet, ya? Takutnya Adek malah nyasar," niat hatinya ingin berkelakar. Tetapi tanggapan dingin dari sang putra, buatnya hanya mampu mengulum senyum kecut di bibir. "Bentar, ya, Bang?"

Bukan salah anaknya.

Semua adalah salahnya.

Jadi, ia tak akan mengeluh.

Aksara SenadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang