Dua Puluh Dua

60.8K 6.6K 424
                                        

Yuklah, menemani siangku yg terik ini, ayo kita ketemu mas duda sama mbak janda ini.

Konsepnya, jika cinta yang kita miliki memang terlanjur dalam. Pastikan saja, kedua lengan mampu terentang untuk berenang. Bukan apa-apa, terkadang hanyut dan tenggelam pun butuh persiapan.

Sebab, yang paling sulit bukanlah melupakan. Namun, ketika harus melepaskan dia hanya untuk bahagia dengan orang yang bukan kita. Jangan mengada-ada, ditinggalkan saat masih terlanjur sayang, adalah bagian yang tak 'kan mudah hilang.

Dan Aksa merasakannya.

Seperti ada sebuah telapak tangan yang meremas hati, jiwanya kontan merintih. Dadanya berdegub lirih. Namun lebih dari semua itu, matanya perih. Terlampau malu bila hanya dikenalkan sebagai mantan suami, Aksa memilih langsung pergi. Membawa kedua buah hatinya bersama, mereka berkendara dalam sunyi.

Barulah, ketika Aksa berhasil meredam amarah yang membabi buta dalam jiwa, ia tarik napas panjang. Pada lampu merah yang menyala, ia gunakan kesempatan itu untuk menatap kedua anaknya. Senyumnya terukir tipis, tetapi ketulusan terpancar nyata dalam irisnya yang serupa jelaga. "Adek cakep banget sih?" ia mulai dengan memuji anak perempuannya. "Rambutnya dikepang dua gitu, bikin Adek makin gemes aja. Jangan cantik-cantik banget dong, Dek, nanti Ayah sama Abang susah lho ngejaganya."

"Ayah apaan sih?" Lova pura-pura cemberut. Padahal, hatinya kesenangan. "Adek biasa aja kok. Nggak dandan sama sekali. Masa gini aja udah cakep sih, Yah?" ia menyentuh salah satu kepangan rambutnya dengan senyum tertahan di wajah.

"Halah, seneng aja dibilang cantik," Oka meledek telak. "Mau pegang HP nggak?" Oka pura-pura menyodorkan ponsel ke kursi belakang. "Yakin nggak mau selfie? Selfie dong, biar bisa dijadiin story facebook."

"Ih! Abang nyebelin banget!" seru Lova yang sudah menghilangkan sikap sok malu-malunya tadi.

"Nyebelin? Siapa yang nyebelin? Kamu tuh," balas Oka tak mau kalah. "Bilangnya nggak suka sama Mario. Kemarin, siapa tuh, ya, yang duduk bareng di kantin?" ejeknya makin leluasa.

Aksa akhirnya terpingkal melihat kelakukan anak-anaknya. Ia tepikan sejenak, kekagetannya beberapa saat lalu demi menjadikan si kembar pusat dunianya. Tangannya terulur untuk mengacak-acak surai sang putra. Sementara wajahnya terlihat semringah. "Seneng banget sih, Bang, gangguin Adeknya?" kekeh Aksa yang kemudian mengarahkan tatapan ke arah Lova. "Tapi, apa yang Abang bilang itu bener nggak, Dek?" ia malah ikut-ikutan meledek. "Adek udah naksir cowok?"

"Nggak ada lho, Yaaahhh ...," seru Lova panjang. Air mukanya mengkerut kesal. Ia lemparkan tatap sebalnya pada kembarannya itu. "Abang, kalau nggak tahu ceritanya jangan nuduh-nuduh!"

"Bukan nuduh, cuma nyampein fakta yang terlihat aja," sahut Oka cuek.

"Iiisshhh! Oka, kenapa nyebelin banget sih jadi saudara?!" teriak Lova makin kesal.

"Sadar dong, Lova, kamu yang jauh lebih nyebelin," Oka ikut-ikutan memanggil nama sang adik seperti adiknya yang seenaknya saja menyebut namanya. "Tapi Abang serius, Yah. Lova tuh udah genit di sekolah. Sok cantik—"

"Memang cantik, ya, Bang!" sambar Lova penuh percaya diri. "Ya, kan, Yah? Adek memang cantik 'kan?" kini ia meminta dukungan pada ayahnya.

Buat Aksa hanya bisa tertawa geli. Sambil melajukan mobilnya pelan-pelan, Aksa memandang putrinya yang cemberut dari spion tengah. Lalu, tak lupa ia lirik putranya yang tampak sudah tak peduli lagi pada pertengkarannya tadi. "Adek memang cantik kok," katanya memuji.

"Nah! Denger 'kan?!" Lova kembali berseru dengan semangat. "Ayah bilang Adek cantik, Bang!"

Oka mendengkus, ia melirik ayahnya sembari membuang pandangan ke arah jalanan. "Karena kamu mirip Bunda. Makanya, di mata Ayah, kamu cantik," Oka tak bermaksud menyindir ayahnya. Ia hanya sedang mengemukakan fakta yang terbaca olehnya. "Ya, 'kan, Yah?"

Aksara SenadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang