Dua Puluh

61.2K 6.8K 257
                                        


Lagii gabuut, hahaha
Tumbenan bgt aku inget ini.
Happy reading yaaaaa

Hal ini terasa serba salah. Mereka bukanlah apa-apa, di tengah hidup yang dipaksa hingga terbiasa. Seperti, untuk melepas tak rela. Namun, digenggam pun tak bisa. Segalanya begitu salah kaprah. Seolah mundur pun tidak akan bisa menjadi pelipur. Sementara maju, hanya membuat rindu semakin menggebu.

Pada akhirnya, mereka terjebak bersama.

Pada akhirnya, mereka 'kan mencoba saling menyakiti karena ketidakmampuan tuk membenci.

Nada menatap mantan suaminya dengan pandangan yang ia sendiri tidak tahu bagaimana harus mengartikan. Yang jelas, seperti ada pukulan keras yang melubangi hati. Jiwanya merangsek kebas.

Mereka tidak lagi berada di warung pengap yang minim kelegaan. Keempatnya memilih duduk bersama di taman kota dengan es kelapa muda yang terhidang di depan mereka. Membiarkan riuh angin membelai kulit-kulit mereka yang tadi berkeringat. Menerbangkan helaian-helaian rambut yang bergemerik lambat.

Dan sekali lagi, yang Nada lakukan adalah menatap pria di sebelahnya lamat-lamat. Membiarkan otaknya mengolah informasi yang justru membuatnya kian sekarat.

"Kalau pun rumah itu memang ada. Hakku di sana udah nggak ada, Mas," Nada memotong segera. Supaya Aksa tak melulu lupa tentang status mereka yang telah berpisah. "Oka sama Lova, tetap anak-anak kamu. Tapi aku, bukan lagi istrimu," ia kemukakan realita yang mungkin saja sempat tak diingat mantan suaminya. "Jadi tolong, mari tetap berada di lajur yang semestinya," ungkapnya dengan geram.

Nada sendiri, cukup merasa kewalahan menghadapi emosinya yang tiba-tiba meledak begini. Ia tahu betul apa pemicunya. Jadi, alih-alih membiarkan kenangan masa silam menarik kesadarannya tuk tenggelam pada perandaian-perandaian yang tak akan pernah jadi kenyataan, Nada memilih membentengi diri.

"Kamu nggak punya kewajiban untuk menunaikan janji itu, Mas," imbuhnya dengan mata memanas. "Tepat saat kita resmi bercerai, hak dan kewajiban kamu atas aku udah gugur," lanjutnya telak.

"Nada—"

"Mas," Nada mengangkat sebelah tangannya. Ia sepertinya juga lupa, bahwa sekali lgi mereka tidak sedang mengobrol berdua. Anak-anak yang telah remaja, pasti bertanya-tanya tentang sikapnya. Namun khusus kali ini, ah, maksud Nada, detik ini. Tolong, biarkan dia menjadi dirinya sendiri. Tanpa menahan diri, hanya karena statusnya sebagai seorang ibu. Demi Tuhan, sudah terlalu lama ia tak semenggebu ini dalam mengungkapkan pendapatnya sendiri. "Cukup segini aja, Mas," emosinya melebur menjadi rintih. Suara yang tadi penuh amarah, telah berganti dengan cicit nelangsa di dada. "Kamu cuma ayahnya anak-anakku. Hubungan kita, nggak lebih dari itu."

Aksa kontan terdiam.

Bibirnya mengatup rapat, sementara pendar netranya bergetar.

Sekali lagi, Nada mempertegas status mereka.

Sekali lagi, Nada menyuarakan bahwa tak mungkin ada kesempatan kedua.

Wanita itu telah terluka terlalu parah. Dan dirinyalah si penoreh yang tak disangka-sangka. Sebagai pria yang pernah menjanjikan harap penuh semoga, ia tak lebih dari penabur garam di atas perih yang menganga.

"Tapi rumah itu aku bangun untuk kamu, Nad," Aksa berusaha meraih puing-puing suaranya. "Itu rumah impian kamu," lanjutnya menelan perih.

Nada mengangguk, netranya yang berkaca-kaca ia biarkan bertumbuk pada cakrawala yang sama terlukanya. "Rumah impian aku sewaktu masih menjadi istri kamu, Mas," ia menekankan kalimatnya. "Dan sekarang, rumah itu bukan lagi impianku."

"Bunda ... Ayah ...," Lova yang tadi sibuk menonton, mulai merasakan aura ketegangan di antara kedua orangtuanya. Ia mengeluarkan rengekan, berharap kedua orang dewasa itu menghentikan semua. "Bunda ...."

Aksara SenadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang