01. Mading Sekolah

441 27 1
                                    

Gibran, Jeffery, dan Malik berdiri cukup lama di tengah-tengah jalan menuju kantin sekolah untuk memandangi papan mading yang isinya selalu menarik perhatian. Pengakuan cinta dari adik kelas yang ditulis di kolom 'secret admirer' misalnya---tidak tahu siapa yang membuat ide menggelikan ini, tapi Gibran menjadi orang yang paling sering membaca tulisan-tulisan di sana untuk mencari namanya sendiri. Meski yang ia temukan selalu nama Taruna, Taruna, dan Taruna lagi.

"Capek banget mata gue baca nama Taruna. Seterkenal itu emang dia?" keluh Gibran. Matanya masih fokus melihat-lihat papan, berharap menemukan tulisan lain selain untuk Taruna Bimantara, teman sekelasnya.

Malik bersedekap. "Tanpa dia lo gak bisa makan cokelat banyak tiap tanggal 14 Februari," katanya menyadarkan.

"Kan masih ada Jepri. Tuh ada namanya juga di sini, cemangat ujiannya kakak ganteng. Hwa-hwa i ting. Hwaiting apaan sih?" Gibran menolehkan kepalanya ke arah Jeffery dan Malik bergantian dengan jari telunjuk yang masih menempel di kaca bening yang melapisi mading. Berharap mendapat jawaban atas rasa penasarannya yang tidak terlalu penting.

"Gak tahu." Jeffery menjawab. Ikut penasaran melihat tulisan tangan di mading yang menyebut nama gantengnya di tengah-tengah tulisan nama Taruna.

Malik berhenti membaca kalimat-kalimat kocak sok puitis yang ditulis di kolom selebar sekitar 50 x 50 senti meter di pojok kiri bawah. "Fighting kali."

Gibran mengangguk-angguk.

"Lihat deh. Ada yang buat Bang Toriq."

"Apa katanya?"

"I love you to the moon."

"Halah! Gaya-gayaan mencintai Bang Toriq sampe bulan. Gue yakin dia ke toilet doang masih minta ditemenin!" cibir Gibran, julid.

"Ya kalo toiletnya toilet belakang gudang mah beda urusan. Lagian cewek mana yang berani sendirian ke toilet?"

Tangan Malik menyikut perut Jeffery, menunjuk seorang perempuan dari arah kantin, berjalan santai sendirian tanpa memedulikan apapun termasuk mata-mata yang menyorotinya sepanjang jalan. "Ya si cantik dingin idaman Johan lah! Siapa lagi? Jangankan toilet gudang, malem-malem pergi ke kuburan juga dia mau."

"Ngapain anjrit ke kuburan malem-malem? Ikut uji nyali?"

Ketiganya semakin merapatkan diri, memulai perghibahan yang lebih serius. "Dari jaman kelas 10 sampe sekarang kita sekelas sama dia, gue gak pernah denger kabar dia pacaran dah."

"Emang gak pernah kali."

"Bisa aja emang kita yang gak tahu."

"Davi yang sekelas sama dia dari SMP aja gak pernah tahu."

Gibran mencibir lagi. "Itu mah Davinya aja yang gak mau kasih tahu."

"Dia straight gak sih?" tanya Jeffery, polos.

Malik menutupi mulutnya dengan tangan kanan sambil memelototkan mata di bawah alis camarnya. "Jadi menurut lo dia belok?"

"We never know."

Mereka melihat punggung gadis itu lagi sebelum menghilang di belokan tangga menuju kelas 12 di ujung lorong. "Johan serius naksir dia?"

"Lah? Lu gak tahu Bran?" tanya Jeffery kaget. Dia pikir Gibran paling dekat dengan laki-laki bongsor bernama Johan Suharsa sejak mereka masuk sekolah. Tidak tahu kalau gosip hangat yang menyebar ke seluruh penjuru SMAN 127 akhir-akhir ini tidak sampai ke telinganya.

Malik mengajak mereka kembali berbalik menghadap mading. "Sini deh. Coba lihat tulisan ini buat siapa."

Gibran membaca tulisan yang ditunjuk Malik. "Untuk Sheila Kencana. Jangan dengarkan apa kata mereka, kamu tetap cantik seperti apa adanya kamu." Ia terdiam beberapa waktu, lalu menunjukkan ekspresi terkejut. "Wuih! Ada yang nulis pesan buat Sheila? Sheila itu nama dia 'kan? Sheila Kencana si judes itu? Siapa yang ngirim nih?" Gibran mencari-cari keberadaan tulisan lain yang mungkin bisa membantunya menemukan jawaban. Menyesal mengapa konsep secret admirer harus merahasiakan pengirimnya.

Praktek Nikah [HAERYU/SUNSHIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang