5. Futsal

157 19 6
                                    

Taruna dan Tamara tinggal di sebuah komplek perumahan yang sama meski tidak terlalu berdekat-dekatan. Keduanya berteman sejak masih kecil bahkan sejak masih di dalam kandungan, sepertinya.

Berada di atas jok motor yang sama dengan laki-laki itu jelas bukan masalah besar. Tamara sudah terlalu sering dibonceng oleh Taruna bahkan sejak mereka masih naik sepeda roda empat, menjadi perempuan pertama yang dibonceng naik motor waktu laki-laki itu bisa mengendarai motor sendiri meski usianya belum legal, menjadi perempuan pertama yang diajak keliling kota setelah Taruna mengantongi SIM C setahun lalu, sekaligus menjadi perempuan pertama yang---pasti---akan diajak naik pertama kali ketika ia membeli motor baru.

Tamara dan Taruna selalu diibaratkan dengan sepasang sepatu yang katanya selalu bersama setiap waktu. Itu kata orang tua mereka yang memang ngebet ingin menjodohkan keduanya suatu hari nanti. Kalau anak-anaknya sendiri, sih, tidak begitu tertarik untuk memperdalam pembahasan masa depan yang sepertinya masih terlalu dini.

"SIM A gue dikit lagi jadi, Ra. Lo mau gue ajak pergi ke mana?" tanya si laki-laki waktu motor Yamaha XSR-nya berhasil keluar dari kemacetan jalan raya setelah persimpangan.

Tamara yang hari itu tengah melamun melihat langit mendung di sekitaran gedung-gedung tinggi merasa tak benar-benar mendengar apa yang Taruna tanyakan kepadanya. "Hah?"

"Lo mau gue ajak pergi ke mana kalo SIM A gue udah jadi nanti?" ulang Taruna dengan sedikit perubahan pada kalimatnya, tetapi inti dari pertanyaan itu masih sama.

"Ke mana?"

"Ditanya malah balik tanya."

"Makan pecel ayam aja depan komplek," balas si perempuan seadanya.

"Makan pecel ayam doang mah nggak butuh SIM A kali, Ra. Jalan kaki juga nyampe. Yang jauhan dikit gitu loh. Ke Bandung atau ke Jogja atau ke mana gitu."

"Jauh amat ke Jogja."

Sejauh ini, setiap Taruna meraih pencapaian yang melibatkan dirinya saat perayaan, keduanya akan menghabiskan waktu di warung kaki lima langganan mereka untuk mengisi perut sambil bercerita panjang, lalu berakhir mengelilingi jalanan ramai sampai Tamara ditelepon untuk pulang. Jadi, perempuan itu pikir konteks 'pergi' dalam obrolan mereka kali ini masih sama seperti biasa-biasanya.

"Ya minimal Bandung deh ... atau Bogor."

Tamara memundurkan wajah, memberi jarak antara dagunya dengan bahu Taruna. "Nanti kita pikirin lagi deh," katanya setengah tak minat.

Hari itu, sekolah ditambah jam tambahan dan rapat lanjutan tentang project akhir tahun kelas mereka---entah kenapa---menyedot energinya lebih banyak dari pada hari-hari biasa. Tamara merasa dua kali lebih lelah setelah mempresentasikan hasil berpikirnya semalam kepada Taruna dan orang-orang yang diikutkan dalam rapat. Mungkin karena setelah ini dia masih harus berdiskusi panjang dengan Keke. Tugasnya baru benar-benar akan dimulai, bukan berakhir.

"Nanti malem pecel ayam depan komplek bisa kali?"

"Malem ini gue udah janjian sama Keke, mau ngobrolin uprak, nugas, sambil makan kwetiaw yang di Anggrek."

"Jauh amat ke Anggrek. Gue ikut dong."

"Gak ada temen banget emang lo? Sampe ke mana-mana maunya ngintilin gue mulu."

Taruna tertawa atas sindiran telak yang dilontarkan Tamara untuknya. Perempuan itu ada benarnya. Ia tak pernah punya teman dekat selain Tamara yang bisa diajak main atau nongkrong di luar kapan pun ia mau. Ia tak pernah punya comfort zone selain Tamara.

Malik sesekali mengajaknya pergi keluar, mengundangnya untuk berbaur dengan tongkrongan 'anak kelas', di luar masalah sekolah.

Taruna pernah mengiakan, tetapi merasa kesulitan.

Praktek Nikah [HAERYU/SUNSHIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang