22. k a p a n

322 19 0
                                    

Haiii
Kayak biasa yaa, divote dulu sebelum baca, tinggalin komen juga okee

Kepala Dhira nyaris menyentuh permukaan sofa saat sayup-sayup mendengar daun pintu berayun terbuka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kepala Dhira nyaris menyentuh permukaan sofa saat sayup-sayup mendengar daun pintu berayun terbuka. Gadis dengan wajah mengantuk itu berusaha duduk tegap sambil mengucek mata yang rasanya sisa tiga watt. Maniknya menyipit melihat jam dinding yang sudah menunjukkan hampir pukul dua belas.

Sepasang alis Dhira bertaut. Tidak biasanya cowok yang tengah melepas sepatu itu pulang selarut ini. Yah, Dhira memang sengaja menunggu Arka. Ia merasa gelisah dan bersalah mengenai insiden di sekolah tadi. Masih terekam jelas sekeras apa suara bola basket yang menghantam pundak Arka. Pasti sangat sakit. Buktinya sepanjang pelajaran tadi Arka kerap mengurut pundaknya. Ingin memastikan langsung kalau dia baik-baik saja, tapi Dhira tidak punya kesempatan karena selalu ada Elina di sekitar Arka.

Ah, mungkin Arka sedang banyak pekerjaan, pikir Dhira positif. Yang Dhira tidak tahu, Arka sengaja mengulur waktu. Mengemudi dalam kecepatan rendah di jalanan protokol yang meski sudah larut tapi masih tetap hidup. Sementara ia menenangkan diri dan pikirannya yang semrawut.

Dhira menguap sebelum beranjak perlahan. Berderap menghampiri Arka yang sepertinya belum menyadari keberadaannya lantaran suasana unit mereka remang-remang. Tadi Dhira sengaja mematikan lampu dan membiarkan lampu balkon saja yang menyala. Mengantarkan bias cahayanya ke ruang tengah.

"Arka," sapa Dhira tepat saat Arka ke pantry untuk minum. "Malem banget pulangnya?"

Arka melirik Dhira sekilas dari pinggiran gelas. Dia hanya perlu segera menghabiskan air minumnya, mencuci gelas bekas lantas bergegas ke kamar. Atau usaha menenangkan diri tadi berakhir sia-sia jika meladeni. Jujur saja, emosi Arka masih acak-acakan. Dipancing sedikit, bisa-bisa dia meledak betulan. Dan Arka sedang tidak ingin mengeluarkan banyak energi untuk itu.

Dhira mengeluarkan sesuatu dari saku sweatpants yang ia kenakan. Sebungkus koyo dan salep penghilang nyeri otot. Ia angsurkan kedua benda tersebut ke hadapan Arka.

Dengusan kasar Arka lepas begitu saja.

"Thanks banget tadi lo udah nolongin gue. Dan sori malah jadi elo yang kena."

"Sakit banget ya?"

"Mau gue bantu olesin salepnya?"

"Diem berarti mau." Dhira menebalkan muka ketika menjangkau kembali salep.

Arka menaruh gelas di samping koyo dengan klaim mampu meredakan nyeri otot, nyeri sendi, terkilir dan sebagainya. Netra sekelam jelaga itu menghunus lurus ke dalam manik lawan bicara. Ditatap sedemikian intens tentu saja membuat tengkuk Dhira dingin. Tangannya terasa kaku, akibatnya ia selalu gagal membuka tutup salep. Sampai akhirnya Dhira menyerah dan memilih membuang pandangan ke arah kulkas di samping mereka kalau tidak ingin terkapar betulan.

"Kapan sih lo pergi dari hidup gue?" lirih Arka selirih embusan angin.

Namun efek yang diberikan sanggup membuat Dhira lupa caranya bernapas.

I'm (not) FineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang