6. m o n s t e r j a h a t

572 28 2
                                    

Haiiii
Mau kasih tau, kalau part ini bisa bikin kamu emosi, guling-guling pengen ngehujat Dhira
Tapi tetep ya, vote sama komennya jangan lupaaaa

HaiiiiMau kasih tau, kalau part ini bisa bikin kamu emosi, guling-guling pengen ngehujat DhiraTapi tetep ya, vote sama komennya jangan lupaaaa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Ruang tengah berukuran kurang lebih lima belas meter persegi tersebut diisi oleh empat kepala. Yang mana tak satu pun dari mereka mau bersuara. Mengunci rapat mulut. Tenggelam dalam gelembung pikiran masing-masing yang ribut dan kusut. Hanya detik jarum jam bersahutan dengan tarikan napas keempatnya menjadi satu-satunya sumber suara. Membuat atmosfer di sana terasa kian pekat.

Chandra baru akan kembali ke kantor setelah menyelesaikan meeting dengan klien saat mendapati telepon dari istrinya. Sang istri meminta ia pulang sebentar karena katanya, ada hal krusial yang harus mereka selesaikan secepatnya.

Lalu di sini lah Chandra, tubuhnya yang lelah usai bekerja seharian, dibuat makin payah mendengar cerita dari sang istri. Jantungnya seakan mau meledak mendengar putra kebanggaan mereka, sudah menghamili teman sekolahnya sendiri.

Betapa hancurnya hati Chandra. Anak yang dia bangga-banggakan selama ini dan ia berikan seluruh kepercayaannya, tega berbuat hal tidak senonoh seperti itu. Chandra kecewa dengan perbuatan Arka. Tetapi di balik itu semua, Chandra lebih kecewa pada dirinya sendiri yang barang kali tanpa sadar, gagal dalam mendidik putra satu-satunya tersebut. Dia merasa gagal menjadi ayah.

"Bukan Abang yang ngelakuin itu, Yah." Suara Arka terdengar setelah hening yang lama. Masih bertahan dengan argumennya. Ia terdengar lelah dan tertekan. "Tolong percaya sama Abang. Kalian nggak bisa main percaya aja sama orang yang bahkan nggak kalian kenal."

Menyakitkan ketika orang yang kita sayangi, tidak bisa mempercayai kita.

Arka menjenggut rambut lebatnya yang sudah berantakan dengan kasar. Ayah dan bunda Arka tetap bergeming. Keduanya menatap tanpa ekspresi. Namun kernyitan pada alis keduanya menandakan jika mereka sedang berpikir. Terlalu keras. Sedangkan Dhira yang duduk di sofa yang sama dengan Arka hanya menunduk dalam. Meresapi sengatan-sengatan tajam dan menyiksa dalam hatinya.

Entah dosa apa yang sudah ia perbuat di kehidupan sebelumnya, sampai fitnah sampah ini terjadi padanya. Padahal, sampai pagi tadi semua hal masih berjalan dengan normal dan sesuai pada tempatnya. Sederet rencana malah sudah Arka susun untuk ia lakukan selepas penerimaan rapor.

Namun, masa depan terlau sulit ditebak. Hanya dalam sekedipan mata saja, dunia Arka menjadi porak-poranda. Tuhan ... dia dituduh atas perbuatan yang tidak pernah dia lakukan. Membayangkannya saja tidak pernah. Apalagi sampai mengamili seseorang.

Tadi sehabis dari sekolah, mereka--termasuk Dhira, sempat mampir ke bidan untuk memastikan keadaannya. Memang benar, gadis sinting itu sedang mengandung, sudah 8 minggu. Tapi sumpah demi apa pun, itu bukan anak Arka. Dia hanya jadi kambing hitam!

Sialan!

Tidak heran kenapa semua orang membencinya. Karena Dhira memang pantas mendapatkannya. Dia picik, bermuka dua, dan tidak punya hati. Jangan salahkan Arka jika ia pun kini berbalik membenci gadis itu. Bahkan lebih besar dari orang-orang.

I'm (not) FineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang